Cerpen: Macan Putih

Macan-Putih-1.jpg
Dimuat Di Harian Radar Tasikmalaya 06-03-2016
INI soal Kang Darman. Preman kampung Belekok yang tiap hari suka malak di jalan. Bukan masalah seribu atau dua ribunya yang sering dikeluhkan oleh orang-orang. Karena uang segitu tidak ada apa-apanya di mata mereka. Yang jadi masalah, setiap orang yang lewat ke kampung Belekok, baik yang menggunakan sepeda motor atau mobil, harus selalu memberi atau melemparkan uang kepadanya. Tidak boleh tidak. Kalau ada yang berani, nekad, tidak memberi atau melemparkan uang ke Kang Darman, tanggung sendiri akibatnya.


Dulu pernah ada kejadian. Ada pemuda yang lewat tidak memberi atau melemparkan uang ke Kang Darman. Mungkin pemuda itu orang kota yang kebetulan lewat ke kampung Belekok, dia tidak tahu kalau ketemu Kang Darman harus memberi atau melemparkan uang. Begitu lewat di depan Kang Darman, dia hanya menyalakan klakson sambil menganggukan kepala, sebagai tanda permisi, semacam penghormatan begitu. Tahu nggak apa yang terjadi?

Saat itu juga pemuda itu dikejar oleh Kang Darman. Motornya dipepet sama motor Kang Darman sampai terjatuh ke jurang. Lalu, di bawah jurang, tanpa ampun, pemuda itu dihajar oleh Kang Darman sampai bibir dan hidungnya berdarah. Tak ada yang berani melerai. Warga yang menyaksikan kejadian tersebut dari atas, dari pinggir jalan, hanya bisa berteriak;

“Alah…ieung! Aduh…Gusti!”

Semenjak peristiwa itu. Dari mulut ke mulut, dari warung ke warung, dari pos kamling ke pos kamling, beredar semacam testimoni kalau kita lewat ke kampung Belekok, kalau ada Kang Darman berdiri di pinggir jalan sambil membawa cangkul, sekop, pura-pura membetulkan jalan. Atau sedang duduk-duduk di atas motor sambil merokok menyaksikan anak buahnya berdiri di tengah jalan menenteng ember hitam bekas adukan bangunan, kita harus memberi atau melemparkan sejumlah uang.

Selain malak di jalan. Kang Darman juga suka minta jatah ke warga yang sedang hajatan. Mau acara nikahan atau acara khitanan, yang punya hajat wajib menyetor beberapa rupiah ke Kang Darman. Sebagai uang keamanan katanya. Kalau tidak nanti acara hajatannya bakal diganggu, bakal diacak-acak. Untuk yang satu ini, semua warga di kampung Belekok sudah pada maklum. Tidak ada seorang pun yang mempersoalkan. Karena yang punya hajat sadar. Kalau sampai tidak memberi uang keamanan ke Kang Darman, acara hajatannya pasti bakal kacau.

TAHUN baru kemarin. Tunangan saya nelpon. Dia bilang, dia ingin refreshing. Dia ingin pulang ke kota karena sekolah sedang libur. Tunangan saya sebenarnya tetanggaan dengan saya, tapi karena tunangan saya bekerja sebagai guru honorer, ditugaskan di kampung Belekok, sebuah kampung di daerah ujung Priangan Timur, kami pun menjalani hubungan jarak jauh. Saat dia meminta saya untuk menjemputnya, tiba-tiba kerinduan saya ke Kang Darman (selain rindu ke tunangan saya tentunya) kembali menyeruak.

Sudah lama saya tidak bertemu dengan Kang Darman. Saya ingin tahu kondisi Kang Darman sekarang seperti apa. Saya hanya dengar dari tunangan saya kalau Kang Darman masih suka malak di jalan, masih suka minta jatah ke warga yang mengadakan hajatan. Waktu saya tanya apakah Kang Darman masih memakai kalung tengkorak dan gelang dari kulit macan? Tunangan saya menjawab sambil ketawa.

“Kang Darman sekarang lebih necis. Malak di jalannya sambil bawa keris.”

Tiga jam perjalanan. Akhirnya saya sampai juga di kampung Belekok. Saya tidak bawa motor, tapi bawa mobil. Ini atas permintaan tunangan saya. Dia ingin pulang ke kota naik mobil biar sepanjang perjalanan dia bisa selonjoran sambil mendengarkan musik. Sepuluh meter sebelum sampai ke tanjakan, tempat biasa Kang Darman mangkal, saya melihat anak buah Kang Darman ada lima orang. Dua orang membetulkan jalan. Dua orang menenteng ember hitam bekas adukan bangunan, berdiri di kiri dan kanan jalan. Satu orang lagi asyik mengobrol dengan Kang Darman, entah sedang membicarakan apa. Saya tidak gentar, saya tidak takut. Kalau ada apa-apa, saya tinggal turun saja.

Begitu sampai di tanjakan. Saya lewat begitu saja. Tidak menyalakan klakson. Tidak melemparkan uang. Dan, seperti yang sudah saya duga, Kang Darman langsung beranjak dari motornya. Bergegas mengejar mobil saya. Tepat di belokan yang di pinggirnya ada jurang. Di mana waktu itu Kang Darman pernah menghajar seorang pemuda sampai mulut dan hidungnya berdarah. Mobil saya dipepet oleh motor Kang Darman.

“Turun, Anjing!” Suara Kang Darman terdengar begitu menggelegar. Ini yang selama ini saya tunggu-tunggu.

“Sia, teu apal saha Aing?” Kang Darman menggedor kaca mobil.

Warga sekitar, seperti dulu, muncul dari semak-semak. Ada juga yang mengintip dari atas bukit. Bahkan beberapa orang yang kebetulan lewat mendadak menghentikan motornya. Sekedar ingin tahu atau memang sengaja ingin menonton. Tapi, sekali lagi, saya tidak takut. Saya buka pintu mobil. Saya turun dengan tenang. Lantas menghampiri Kang Darman sambil tersenyum.

“Iya, Kang, ada apa?” Tanya saya dengan sopan.

“Aéh, punten, manawi téh sanés Ujang. Punten, Jang. Punten!” Kang Darman, tiba-tiba seperti orang ketakutan. Hendak berlutut di hadapan saya. Tapi keburu saya rangkul. Pundaknya saya tepuk pelan-pelan.

Kenapa Kang Darman sampai ketakutan seperti itu? Maaf, bukannya sombong. Pemuda yang dihajar oleh Kang Darman waktu itu adalah saya. Waktu itu, mulut dan hidung saya memang berdarah. Pukulan dan tendangan Kang Darman memang hebat. Namanya preman, pasti punya kekuatan.

Tapi, preman yang ditakuti oleh seluruh warga kampung Belekok itu, kondisinya jauh lebih parah. Tangan dan kakinya patah. Tulang iganya remuk. Beruntung, macan putih (karuhun dari kakek buyut) yang merasuk ke dalam tubuh saya waktu itu keburu jinak. Keburu keluar dari tubuh saya. Kalau tidak, mungkin Kang Darman sekarang sudah tinggal nama.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url