Kapok Makan Bakso

WAKTU awal-awal saya tahu mie bakso tersebut. Dulu tempatnya ramai sekali. Kalau mau makan bakso di sana kita harus antri. Kadang kalau tidak kebagian tempat duduk. Mie baksonya saya bungkus saya makan di rumah. Mie baksonya enak banget. Rasanya beda dengan mie bakso yang lain. Apalagi mie bakso uratnya. Dimakan siang-siang, pas lagi lapar-laparnya, rasanya seger banget. Bikin kita ketagihan.

Saya belum sepenuhnya sadar ketika makan bakso di sana sekarang suasananya selalu sepi. Saya mikirnya, mungkin waktu saya beli bakso di sana bukan di jam yang ramai. Memang, semenjak saya menderita penyakit aneh, terus sekarang lagi ada pandemi, saya selalu berusaha untuk menghindari kerumunan. Saya males kalau harus duduk berdempetan atau berdesak-desakan. Apalagi kalau harus rebutan tempat duduk.


Saya baru NGEH dan siuman ketika terakhir kali saya makan bakso di sana. Saya melihat ada pembeli yang tidak tuntas makan baksonya. Mie baksonya masih tersisa di atas mangkok. Dia makannya cuma sedikit. Waktu saya datang ke sana mereka buru-buru pergi. Tidak santai dulu. Tidak ngobrol-ngobrol dulu. Awalnya saya fikir biasa saja. Selera orang mungkin beda-beda. Menurut saya bakso ini enak. Tapi belum tentu menurut orang lain. Atau siapa tahu mereka lagi ada masalah. Kalau lagi banyak persoalan. Kadang suka tidak enak makan.

Tapi hari itu, waktu saya makan bakso di situ. Ulu hati saya mendadak eneg. Mual sih nggak. Baksonya saya lahap sampai habis. Cuma saya jadi teringat kejadian-kejadian setiap kali saya makan bakso di sana. Bagaimana suasana di dalam ruko. Bagaimana si mas dan si mbak melayani pembeli. Kenapa orang-orang yang makan bakso di sana buru-buru pergi. Kenapa mie baksonya sekarang jadi sepi. Akhirnya, saya menemukan jawabannya.

Meski ada meja, kursi, kerupuk, daftar menu, deretan sambal, saus dan kecap. Tempat itu sekarang sudah bukan tempat jualan mie bakso lagi. Tempat itu lebih tepat disebut bangunan kumuh. Kalau kita makan bakso di sana. Kita seperti makan bakso di dalam rumah. Bukan di dalam ruangan yang berbentuk ruko. Bagaimana tidak, ketika saya lagi makan bakso. Di depan saya anak-anak tukang bakso sibuk ngerjain PR. Di seberang meja, anak-anak tukang bakso sibuk mainin gadget.



Tidak cukup sampai di situ. Ketika saya makan bakso di sana. Saya selalu disuguhi pemandangan pembantu yang lagi cuci piring. Cipratan air, bilasan sabun, sisa tulang, daging, lemak bekas olahan bakso, dan tumpukan-tumpukan mangkuk yang berisi mie. Sebenarnya saya tidak merasa jijik. Pemandangan-pemandangan kurang mengenakan itu masih ketutup oleh enaknya mie bakso.

Yang bikin sebel dan membuat saya berfikir ulang kalau mau makan bakso lagi di sana pas anak laki-lakinya turun dari lantai dua. Tampak kelihatan baru bangun tidur. Rambutnya acak-acakan. Bukannya cuci muka. Malah bikin mie bakso buat dia sendiri terus makan baksonya di depan meja saya sambil ongkang-ongkang kaki. Saat itu saya langsung ngerasa. Ini saya bukan sedang makan mie bakso di tempat mie bakso pada umumnya. Tapi kayak lagi makan di dapur, ditemani dan dikelilingi oleh anak-anak yang punya rumah.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url