Cerpen: Jomblo
DI kampungku, laki-laki dewasa yang belum punya pacar, cuma aku doang. Teman-temanku semuanya sudah punya pacar. Ada yang pacaran sama anak tetangga. Ada juga yang pacaran sama anak kampung sebelah. Aku sebenarnya bukan nggak berusaha. Kalau teman-temanku apel. Aku suka ikut. Namanya di kampung, kalo pacaran suka rame-rame. Suka bawa teman. Apalagi kalau apelnya ke kampung sebelah. Aku suka semangat. Aku suka berharap, siapa tahu pacarnya teman aku bawa teman lagi. Jadi nanti aku bisa kenalan.
Aku sudah kenalan dengan beberapa perempuan. Tapi ketika aku mau melakukan pendekatan, mau ngungkapin perasaan, entah kenapa mereka malah menghindar. Pada ngejauhin aku. Alasannya sih, kata teman aku, gara-gara gigiku kuning. Mereka tidak mau pacaran sama cowok yang giginya kuning. Cowok yang giginya kuning, pasti jarang gosok gigi. Jujur, aku memang nggak pernah gosok gigi. Mau gosok gigi gimana, orang tuaku miskin. Keluargaku, kalau mandi cuma basahin tubuh doang. Nggak pernah pake sabun, nggak pernah gosok gigi.
Karena pengen punya pacar. Aku harus cari cara biar gigiku nggak kuning. Aku melamar kerja jadi pelayan toko bahan bangunan. Alhamdulillah, diterima. Walau gajinya nggak seberapa, cuma 250 ribu perbulan. Paling tidak aku bisa beli sabun dan pasta gigi. Semenjak aku bekerja di toko bahan bangunan, aku dan keluargaku mandinya nggak jorok lagi. Kalau mandi, aku dan keluargaku suka pake sabun dan gosok gigi. Gigiku yang dulu kuning, sekarang sudah mulai agak putihan. Dan aku semakin percaya diri untuk mendekati perempuan.
Aku kenalan dengan anak perempuan dari kampung sebelah. Dia bukan temannya pacar teman aku. Aku ketemu sama dia, waktu dia ke toko belanja cat dan paku. Karena saat itu di toko nggak ada siapa-siapa, aku godain tuh cewek, aku ajak kenalan. Eh dianya mau. Aku salaman sama dia. Seumur-umur baru kali itu aku salaman sama perempuan. Sumpah, tangannya lembut banget. Saking lembutnya sampai kebawa-bawa dalam mimpi.
Sayang, beberapa hari kemudian, waktu aku nyatain cinta sama dia, aku ditolak mentah-mentah. Bukan, bukan karena dia udah punya pacar. Tapi dia nggak suka sama cowok kurus. Dia mau sama cowok yang berisi. Kurus nggak, gendut nggak. Sedang-sedang saja katanya. Dari kejadian itu aku jadi mikir. Kok cewek banyak maunya ya? Dulu mereka nggak mau pacaran sama aku karena gigiku kuning. Sekarang, setelah aku rajin gosok gigi, gigiku udah putihan dikit, mereka nggak mau pacaran sama cowok kurus. Besok apa lagi?
Kerja di toko bahan bangunan, nggak ngejamin badanku berisi. Yang ada makin hari malah makin kurus. Maklum tiap hari ngangkutin semen, paralon, bata merah sama genting terus. Gimana tubuhku bisa berisi? Karena pengen punya pacar, terpaksa aku harus putar otak. Aku harus keluar dari toko bahan bangunan. Aku harus cari pekerjaan yang lebih enak yang bisa membuat tubuhku berisi. Tapi aku tidak lulus sekolah. Boro-boro tamat SMP atau SMA, SD saja cuma sampe kelas 3. Pekerjaan yang tidak mengandalkan ijazah, selain jadi pelayan toko bahan bangunan, ya jadi penjahit.
Di kampungku banyak yang membuka usaha konveksi. Tidak sulit untuk aku mendapatkan pekerjaan. Aku diterima kerja di sebuah konveksi. Karena aku tidak bisa menjahit, otomatis aku harus belajar dulu, tidak diberi upah dulu sampai aku bisa menjahit. Selama belum bisa menjahit aku cuma dikasih makan dan uang jajan doang. Nggak apa-apa, dikasih makan dan uang jajan juga udah cukup. Yang penting tubuhku berisi, nggak kurus lagi.
LIMA bulan kerja di konveksi. Tidak terasa, aku sudah bisa menjahit. Penghasilanku dari menjahit lumayan cukup besar. Jika di toko bahan bangunan dengan gaji 250 ribu perbulan, aku bisa makan dan bisa membeli sabun dan pasta gigi. Dari hasil menjahit, aku bisa ngasih duit ke orang tua, bisa beli kebutuhan sehari-hari, bisa beli baju dan celana baru. Bahkan, kalau aku sudah punya pacar, aku bisa mentraktir pacar aku kalo dia mau. Tapi yang paling menggembirakan, selama lima bulan bekerja di konveski, berat badanku bertambah. Waktu kerja di toko bahan bangunan, berat badanku cuma 45kg. Sekarang naik 15kg, jadi 60kg.
Dangan tinggi badan 165cm dan berat badan 60kg, plus gigi yang sudah tidak kuning, harusnya aku gampang mendapatkan pacar. Jangankan anak kampung sebelah yang dulu pernah nolak aku, pengen pacaran sama anak tetangga juga sepertinya aku bisa. Tapi apa yang saya usahakan selama ini ternyata sia-sia. Perempuan yang kudekati selalu mengajukan syarat yang aneh-aneh. Selalu berubah-rubah. Sampai akhirnya aku sadar kalo alasan yang mereka minta itu sebenarnya alasan yang dibuat-buat. Alasan yang mengada-ada.
Terakhir, aku kenalan sama perempuan yang bernama Maya. Menurutku, satu-satunya harapan yang tersisa adalah Maya. Peluang jadian sama dia besar sekali. Dia bukan anak tetangga, bukan pula anak kampung sebelah. Dia pendatang. Bekerja di kampungku, katanya ingin cari pengalaman. Dia orangnya baik. Kalau ketemu sama aku, di jalan, di warung, atau di masjid saat ada pengajian muda-mudi, dia suka tersenyum.
Aku suka sama dia. Dia juga sepertinya suka sama aku. Tapi saat aku nyatain cinta sama dia, syarat yang diajukan sama dia jauh lebih berat. Lebih mencengangkan. Susah sekali untuk diperjuangkan. Syarat yang dia ajukan, benar-benar menyakitkan. Pengen punya cowok yang giginya putih, bisa kuusahakan. Pengen punya cowok yang gemukan dikit bisa kuperjuangkan. Tapi kalo menyangkut kekurangan yang ada di dalam diriku. Aku tidak bisa memenuhi keinginannya. Tidak bisa.
Kalian pengen tahu syarat apa yang diajukan sama dia? Dia pengen cowok yang bicaranya nggak gagap, terus kalo sholat nggak was-was. Kalo syaratnya seperti itu, terus terang aku nyerah. Aku pasrah. Aku nggak bisa berbuat apa-apa. Gagap dan was-was saat sholat itu sudah watak dan kebiasaan aku sejak kecil. Nggak bisa dirubah. Dari pada harus pacaran sama dia. Lebih baik aku jadi jomblo saja.
Aku sudah kenalan dengan beberapa perempuan. Tapi ketika aku mau melakukan pendekatan, mau ngungkapin perasaan, entah kenapa mereka malah menghindar. Pada ngejauhin aku. Alasannya sih, kata teman aku, gara-gara gigiku kuning. Mereka tidak mau pacaran sama cowok yang giginya kuning. Cowok yang giginya kuning, pasti jarang gosok gigi. Jujur, aku memang nggak pernah gosok gigi. Mau gosok gigi gimana, orang tuaku miskin. Keluargaku, kalau mandi cuma basahin tubuh doang. Nggak pernah pake sabun, nggak pernah gosok gigi.
Karena pengen punya pacar. Aku harus cari cara biar gigiku nggak kuning. Aku melamar kerja jadi pelayan toko bahan bangunan. Alhamdulillah, diterima. Walau gajinya nggak seberapa, cuma 250 ribu perbulan. Paling tidak aku bisa beli sabun dan pasta gigi. Semenjak aku bekerja di toko bahan bangunan, aku dan keluargaku mandinya nggak jorok lagi. Kalau mandi, aku dan keluargaku suka pake sabun dan gosok gigi. Gigiku yang dulu kuning, sekarang sudah mulai agak putihan. Dan aku semakin percaya diri untuk mendekati perempuan.
Sayang, beberapa hari kemudian, waktu aku nyatain cinta sama dia, aku ditolak mentah-mentah. Bukan, bukan karena dia udah punya pacar. Tapi dia nggak suka sama cowok kurus. Dia mau sama cowok yang berisi. Kurus nggak, gendut nggak. Sedang-sedang saja katanya. Dari kejadian itu aku jadi mikir. Kok cewek banyak maunya ya? Dulu mereka nggak mau pacaran sama aku karena gigiku kuning. Sekarang, setelah aku rajin gosok gigi, gigiku udah putihan dikit, mereka nggak mau pacaran sama cowok kurus. Besok apa lagi?
Kerja di toko bahan bangunan, nggak ngejamin badanku berisi. Yang ada makin hari malah makin kurus. Maklum tiap hari ngangkutin semen, paralon, bata merah sama genting terus. Gimana tubuhku bisa berisi? Karena pengen punya pacar, terpaksa aku harus putar otak. Aku harus keluar dari toko bahan bangunan. Aku harus cari pekerjaan yang lebih enak yang bisa membuat tubuhku berisi. Tapi aku tidak lulus sekolah. Boro-boro tamat SMP atau SMA, SD saja cuma sampe kelas 3. Pekerjaan yang tidak mengandalkan ijazah, selain jadi pelayan toko bahan bangunan, ya jadi penjahit.
Di kampungku banyak yang membuka usaha konveksi. Tidak sulit untuk aku mendapatkan pekerjaan. Aku diterima kerja di sebuah konveksi. Karena aku tidak bisa menjahit, otomatis aku harus belajar dulu, tidak diberi upah dulu sampai aku bisa menjahit. Selama belum bisa menjahit aku cuma dikasih makan dan uang jajan doang. Nggak apa-apa, dikasih makan dan uang jajan juga udah cukup. Yang penting tubuhku berisi, nggak kurus lagi.
LIMA bulan kerja di konveksi. Tidak terasa, aku sudah bisa menjahit. Penghasilanku dari menjahit lumayan cukup besar. Jika di toko bahan bangunan dengan gaji 250 ribu perbulan, aku bisa makan dan bisa membeli sabun dan pasta gigi. Dari hasil menjahit, aku bisa ngasih duit ke orang tua, bisa beli kebutuhan sehari-hari, bisa beli baju dan celana baru. Bahkan, kalau aku sudah punya pacar, aku bisa mentraktir pacar aku kalo dia mau. Tapi yang paling menggembirakan, selama lima bulan bekerja di konveski, berat badanku bertambah. Waktu kerja di toko bahan bangunan, berat badanku cuma 45kg. Sekarang naik 15kg, jadi 60kg.
Terakhir, aku kenalan sama perempuan yang bernama Maya. Menurutku, satu-satunya harapan yang tersisa adalah Maya. Peluang jadian sama dia besar sekali. Dia bukan anak tetangga, bukan pula anak kampung sebelah. Dia pendatang. Bekerja di kampungku, katanya ingin cari pengalaman. Dia orangnya baik. Kalau ketemu sama aku, di jalan, di warung, atau di masjid saat ada pengajian muda-mudi, dia suka tersenyum.
Aku suka sama dia. Dia juga sepertinya suka sama aku. Tapi saat aku nyatain cinta sama dia, syarat yang diajukan sama dia jauh lebih berat. Lebih mencengangkan. Susah sekali untuk diperjuangkan. Syarat yang dia ajukan, benar-benar menyakitkan. Pengen punya cowok yang giginya putih, bisa kuusahakan. Pengen punya cowok yang gemukan dikit bisa kuperjuangkan. Tapi kalo menyangkut kekurangan yang ada di dalam diriku. Aku tidak bisa memenuhi keinginannya. Tidak bisa.
Kalian pengen tahu syarat apa yang diajukan sama dia? Dia pengen cowok yang bicaranya nggak gagap, terus kalo sholat nggak was-was. Kalo syaratnya seperti itu, terus terang aku nyerah. Aku pasrah. Aku nggak bisa berbuat apa-apa. Gagap dan was-was saat sholat itu sudah watak dan kebiasaan aku sejak kecil. Nggak bisa dirubah. Dari pada harus pacaran sama dia. Lebih baik aku jadi jomblo saja.