Cerpen: Bom


Cerpen-Bom
KANTOR Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan yang ada di Jln. Sangkuriang itu kemarin malam katanya ada yang ngebom. Si Oncom bilang, ini ada kaitannya dengan kasus tempo hari. Ya, pemukulan beberapa oknum pegawai Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan terhadap kordinator LSM Kuda Lumping itu memang sempat bikin heboh. Kabar terakhir yang aku dengar, korban pemukulan, hingga sekarang masih kritis di Rumah Sakit.
 
Tapi, sebenarnya bukan kasus itu yang ingin aku tanyakan sama si Oncom, malam ini. Ada yang lebih penting lagi. Ini tentang keadaan si Entin, anakku satu-satunya. Tahu sendiri kan, gara-gara video mesumnya itu, si Entin kini mengalami defresi hebat. Sudah tiga kali ia mencoba bunuh diri. Padahal, si Entin itu termasuk anak yang cerdas. Anak yang rajin. Di sekolahnya dia selalu mendapatkan rangking pertama.
 
Oh Tuhan, kenapa aib ini harus menimpa keluargaku? Gara-gara kejadian ini, terus terang, aku benar-benar malu. Isteriku apalagi. Semenjak kasus si Entin merebak di masyarakat, isteriku jadi pemurung habis. Tak mau ngaji lagi. Tak mau aktif di PKK lagi. Percuma katanya. Sekarang, ia lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Mengawasi si Entin. Keluar-keluar kalau mau menjemur pakaian. Saking tersiksanya, pernah suatu malam ia berteriak-teriak sendirian.

Bayangkan, bagaimana rasanya, kalau anak kita terlibat kasus yang memalukan? Bagaimana rasanya, kalau anak kita nekad beradegan mesum, di sebuah hotel dengan teman lelakinya, lalu rekaman videonya kini menyebar di masyarakat? Apa yang akan kalian rasakan?
 
Jujur, aku dan isteriku memang salah. Sebagai orang tua, kami terlalu memanjakannya. Selama ini kami berdua jarang memperhatikan. Kami sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Kami tidak tahu apa yang suka dilakukan sama si Entin selama di rumah atau di sekolah. Apa yang dibilang sama si Oncom itu sepenuhnya benar. Anak-anak zaman sekarang, pada nakal-nakal. Pada liar-liar. Segala kemudahan yang diberikan oleh orang tuanya, baik itu handphone, sepeda motor, atau laptop, sama mereka banyak yang disalah gunakan.
 
Tapi sudahlah! Bukankah kedatanganku kemari, ke padepokannya si Oncom yang sudah terkenal, justru ingin merubah segala sesuatunya biar menjadi lebih baik?
 
”Bom-nya sih cuma bom molotov” si Oncom masih saja nyeroscos tentang bom yang meledak di Jln. Sangkuriang, kemarin. “Ada-ada saja, pasti ada pihak-pihak tertentu yang ingin memperkeruh suasana. Nggak ada kerjaan, pakai neror segala lagi” begitu katanya.
 
Sesaat kemudian, “Huuuh!” si Oncom mulai kelihatan serius. Ini nih yang dari tadi aku tunggu-tunggu. Butiran-butiran bening yang mengalir deras di dahinya, kian membuatku penasaran. Aku takut, jangan-jangan penyakit defresi yang diderita anakku, tak bisa disembuhkan.
 
“Zaman lagi susah begini, listrik mati, BBM naik, eh.. teror bom lagi, apa-apaan sih? Ada-ada saja!” Euuuh…disimak baik-baik, penyakit nyerocos si Oncom malah kambuh lagi. Kampring!
 
“Maaf, com!” Kupotong saja pembicaraannya. 

“Kedatanganku ke sini bukan untuk mendengar ocehan-ocehanmu. Aku datang ke sini, justru ingin mengobati si Entin, anakku satu-satunya. Bagaimana sekarang keadaannya? Apa sudah agak mendingan?”
 
“Bawa pulang sajalah. Jangan telat kontrol lagi nanti” jawabnya agak sedikit ketus.
 
Tanpa ba-bi-bu lagi, langsung saja aku masuk ke dalam kamar. Tempat di mana si Oncom, membuka praktek pengobatan. Di dalam kamar itu, kulihat si Entin tampak terbaring lemas. Ya, di atas kasur. Di atas kasur.
 
Waktu aku berhasil membangunkannya. Bercak-bercak merah tampak di beberapa bagian tubuhnya. Tapi, aku tak berani menyimpulkan. Konon, setiap tabib, dukun, atau paranormal, punya cara-cara tersendiri untuk mengobati pasiennya. Jadi, sekalipun bercak-bercak merah itu ada di dadanya atau bahkan di lehernya, asalkan anakku itu bisa sembuh, buatku tak jadi masalah. Aku tak perduli. Tak perduli.
 
“Aku benci tempat ini, Yah! Benci! Aku ingin pergi! Pergi!” si Entin tiba-tiba saja berontak, meronta-ronta. Berteriak sejadi-jadinya di ruang praktek si Oncom yang bau dupa dan kemenyan.
 
“Kenapa, Tin? Kenapa?” Agak cemas juga aku jadinya melihat si Entin bertingkah aneh seperti itu.
 
“Si brengsek itu, Yah. Si brengsek itu!” kembali si Entin menjerit-jerit. Meronta-ronta.
 
“Iya, siapa?” makin bingung saja aku dibuatnya.
 
“Si brengsek itu telah memperkosaku!” jari telunjuknya menunjuk ke berbagai arah. Seperti ada yang ia cari. Aku jadi geram. Cepat-cepat saja aku keluar menemui si Oncom. Tapi si Oncom sudah hilang, raib. Entah ke mana. Aku kejar ke belakang, tak ada. Ke depan, juga tidak ada. Yang ada, cuma…
 
“Cari siapa?” tanya isteriku, sambil menenteng ember berisi cucian.
 
“Si Oncom!”
 
“Tuh, di kamar. Ayo masuk, malu dilihatin orang!”
 
“Itu si Entin!”
 
“Iya, nanti saya ke dalam. Cepetan masuk!” lagi-lagi ia menyuruhku untuk segera masuk. Aku pun menurut.
 
Lima belas menit kemudian. Di ruang tengah, ledakan bom molotov, video mesum si Entin, disusul bayangan si Oncom yang brengsek dan bajingan itu, kembali berputar-putar di kepala. Begitu menyiksa. Benarkah waktu tadi aku keluar rumah mengejar si Oncom, aku tidak pakai celana? Ah, jangan-jangan isteriku sudah gila!

KANTOR Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan yang ada di Jln. Sangkuriang itu kemarin malam katanya ada yang ngebom. Si Oncom bilang, ini ada kaitannya dengan kasus tempo hari. Ya, pemukulan beberapa oknum pegawai Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan terhadap kordinator LSM Kuda Lumping itu memang sempat bikin heboh. Kabar terakhir yang aku dengar, korban pemukulan, hingga sekarang masih kritis di Rumah Sakit.
 
Tapi, sebenarnya bukan kasus itu yang ingin aku tanyakan sama si Oncom, malam ini. Ada yang lebih penting lagi. Ini tentang keadaan suamiku. Tahu sendiri kan, gara-gara video mesumnya si Entin, suamiku kini mengalami defresi hebat. Sudah tiga kali ia mencoba bunuh diri. Padahal, suamiku itu suami yang baik. Suami yang rajin. Di rumah kami yang dulu, sebelum pindah ke sini, suamiku suka mengisi ceramah pengajian ibu-ibu.
 
Oh Tuhan, kenapa aib ini harus menimpa pada keluargaku? Aku benar-benar malu. Semenjak kasus si Entin merebak di masyarakat, suamiku sering bertingkah seperti itu.



Tasikmalaya, 1 Januari 2010
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url