Cerpen Facebook

Cerpen-Facebook

HANYA satu dua orang saja yang kukenal. Selebihnya, mereka seperti orang-orang asing yang singgah di pelataran rumah. Mengetuk pintu, mengucapkan selamat pagi atau assalamualaikum. Lalu pergi lagi, sebelum sempat kupersilahkan masuk.
 
Tiba-tiba, kata-kata itu terlintas dalam fikiranku, ketika situs jejaring sosial yang bernama facebook, kembali menggodaku. Ah, lagi-lagi facebook! Fenomena macam apa ini? Gara-gara facebook, uang belanjaku jadi tekor.
 
Ya, bagaimana nggak tekor? Habis narik becak itu, biasanya aku suka setor dua puluh ribu atau lima belas ribu, ke isteri. Tapi sekarang malah berkurang. Iya, justru itu, ke mana lagi kalau bukan kepotong buat beli pulsa, biar bisa facebookan pake Blackberry pemberiannya si Neng. Duh!
 
“Sudahlah, Mang. Jangan difikirin terus. Entar Neng kasih lagi, buat belanja si Ibu!”
 
“Aduh Neng makasih, Jangan ngerepotin. Jadi nggak enak!”
 
“Ah, si Emang kayak sama siapa aja.”
 
“O iya Neng, ngomong-ngomong sekarang kita mau ke mana?”
 
“Sesuai schedule Mang, kita ke rumahnya Pak Bupati.”

Lima belas menit kemudian, becak yang kukayuh, sampai juga di tempat yang dituju. Rumah sederhana. Bersebelahan dengan lapangan sepakbola. Benarkah ini rumahnya Pak Bupati? Kok nggak ada polisi atau satpamnya? Jangan-jangan Pak Bupati ini meniru Khalifah Umar. Bersahaja. Down to earth. Subhanallah, jarang-jarang ada Bupati seperti ini. Hebat pisan! Jadi pengen nyalonin jadi Bupati.
 
“Nggak apa-apa kan Mang nunggu lama?” si Neng kembali bertanya, setelah turun dari becak, sambil mengerlingkan kedua matanya yang berkilau seperti mutiara.
 
“Oh, nggak apa-apa Neng. Tenang. Nyantai sajalah sama Emang mah!”
 
“Kalau kesel mah atuh, ya udah pake netbook Neng aja. Nih, sekalian sama modemnya. Pake aja bebas, jangan sungkan-sungkan.”
 
“Wah, Neng nggak usah! Beneran, nggak usah”
 
“Sudahlah, Mang, jangan malu-malu. Pake aja. Ya udah yah Mang, Neng mau masuk dulu, udah telat nih. Takut si Bapaknya marah. Kalau ada apa-apa, sms aja ya. Oke?”
 
“Oh iya Neng siap!”

Ti mana wé nya milik mah?

Facebookan lagi ah! Di mana yah? Oh di Pos Ronda itu saja ah biar enak!

Bismillahirrahmanirrahiim.

Hanya satu dua orang saja yang kukenal. Selebihnya, mereka seperti orang-orang asing yang singgah di pelataran rumah. Mengetuk pintu, mengucapkan selamat pagi atau assalamualaikum. Lalu pergi lagi, sebelum sempat kupersilahkan masuk.
 
Akhirnya, kata-kata yang terus menggangguku sejak tadi pagi, ku-update juga ke dinding facebook. Klik. Bagikan.
 
Alhamdulillah, bebas. Lega rasanya sekarang. Tinggal menunggu komentar saja. Siapa tahu ada yang suka. Siapa tahu ada yang mau jadi teman seorang tukang becak. Siapa saja sih sekarang yang sedang online?
 
Obrolan. Pemberitahuan. Halaman yang disarankan. Undang teman. Catatan. Pesan masuk. Profil. Hapus. Sembunyikan. Apa ini?
 
Bode Riswandi, memperbaharui status terbarunya satu jam yang lalu lewat web selluler. Aulia Defittha, memperbaharui status terbarunya dua jam yang lalu lewat web selluler. Nelly Amalia, memperbaharui status terbarunya tiga jam yang lalu lewat web selluler. Omi Maria, memperbaharui status terbarunya empat jam yang lalu lewat web selluler. Novia Nur Azizzah, memperbaharui status terbarunya lima jam yang lalu lewat web selluler. Diz Ossi Hanabi, memperbaharui status terbarunya enam jam yang lalu lewat web selluler. Aduh, lagi-lagi web selluler. Web selluler terus, kapan chatingnya?
 
Tiba-tiba aku jadi ingat sama isteriku yang belum makan di rumah. Bagaimana kalau sampai isteriku tahu, celaka. Kemarin saja waktu aku nggak narik becak, online di belakang rumah. Isteriku langsung marah-marah. “Rék kitu waé atuh hirup téh?” Katanya. Berteriak. Mencak-mencak.
 
Susah memang kalau sudah keranjingan facebook. Harus diobati buru-buru. Takut kebablasan. Aneh, nggak habis fikir aku juga. Orang lain keranjingannya sama main judi, burung merpati, main gaple, togel, minum ginseng, atau ngisi TTS. Eh…ini malah kecanduan main facebook. So gaul banget sih!
 
Gara-gara si Neng sih, iya. Semenjak ketemu si Neng, aku jadi tergila-gila sama facebook.
 
“Facebook mah belum apa-apa atuh Mang. Masih ada yang lain, ada Twitter, Yuwie, Blog, Skype, Youtube, Yahoo Messenger, banyak pokoknya. Entar ya kalau ada waktu Neng ajarin” Ujarnya suatu hari. Kalau nggak salah, itu téh waktu aku nanya facebook itu gunanya untuk apa? Ya, untuk apa? Sebab, untuk ukuran tukang becak seperti aku, facebook itu layaknya seperti hantu yang menakutkan. Benar-benar mengerikan. Secara tidak langsung, setidaknya itu yang kurasakan saat pertama kali menggunakannya, aku seolah-olah dibawa ke dalam ruang hampa tanpa makna, meski sejatinya fitur-fitur facebook itu sendiri penuh warna. Penuh tautan untuk diulik dan dicoba.
 
Saking takutnya, sampai-sampai saat itu aku berfikir fragmatis, bagaimana kalau aku tahu segalanya? Twitter, Yuwie, Blog, Skype, Youtube, Yahoo Messenger? Nggak kebayang, isteriku marahnya bakalan seperti apa.
 
Sudah dua jam lebih, kok nggak ada yang online-online? Pada ke mana yah orang-orang, apa pada sibuk? Biasanya si Neng yang suka nemenin aku online. Enak ngobrol sama si Neng mah, orangnya mobile. Nyambung. Sense of belonging-nya tinggi. Beruntung pokoknya aku punya langganan kayak si Neng. Udah cantik, seksi, mahasiswi, baik lagi. Simbiosis mutualismenya dapet.
 
“Lagi browsing apaan Mang?” Tanpa sepengetahuanku, si Neng sudah berdiri di hadapanku. Aku terkejut. Dengan rambutnya yang kelimis, hidung mancung, bibir tipis, tas KW merk Wallaby, t’shirt orange dan celana jeans hitam ketat, kerling matanya itu berkilau seperti mutiara. Ah, begitu menggoda. Sungguh.
 
“Biasa Neng fa-ce-bo-ok!”
 
“Facebook terus, ngupdate status yah?”
 
“Iya nih Neng. Tapi dari tadi nggak ada yang ngasih komentar. Garing. Nggak ada yang online!”
 
“Harus diexplore lagi Mang. Biar seru!”
 
“Seru apanya Neng? Susah kalau nggak punya ilmu, nggak punya koneksi mah. Nyari mantan Emang aja nggak ada. Itu si Entin. Susah, namanya pake nama palsu kali ya?”
 
“Iya kali, bisa jadi!”
 
“Udah ah Neng, sekarang kita mau ke mana?”
 
“Ke rumah Pak Walikota Mang, mau ngirim profosal”
 
“Siap Neng!”
 
Tanpa banyak tanya lagi, kukayuh kembali becak kesayanganku ini ke arah kota. Begitu bertenaga. Percis seperti model iklan AXE atau Kuku Bima. Sambil bergoes-goes ria, sempat kefikiran juga di dalam hati, ada hubungan apa yah si Neng, sama Pak Bupati dan Walikota? Bodo ah, yang penting aku mah narik becak. Nyari duit buat keluarga. Masalah si Neng, Pak Bupati, dan Walikota, itu mah urusan mereka. Kalaupun terjadi sesuatu antara si Neng, Pak Bupati, dan Walikota, kan sudah ada Polri dan KPK yang mengawasinya?***


Tasikmalaya, November 2009
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url