Cerpen: Wasiat Bapak
WAKTU saya kecil. Setiap kali diajak bapak ke sawah. Kerjaan saya cuma diam di gubuk. Tidur-tiduran, lihat pemandangan gunung dari kejauhan, atau melamun ikut merasakan betapa capeknya bapak kerja di sawah. Saya baru turun dari gubuk, berlari-lari di atas pematang, kalau bapak mendapatkan belut. Belut yang bapak dapat secara tidak sengaja saat mencangkul lumpur itu adalah satu-satunya hiburan buat saya. Karena, kalau bapak sudah dapat belut, biasanya saya suka disuruh pulang.
Kenapa saya bercerita tentang sawah? Karena saya lagi ada masalah. Beberapa hari yang lalu ada orang yang menelepon dari kampung, ngakunya sih direktur sebuah perusahaan. Dia mengatakan bahwa di kampung saya, hampir semua sawah yang ada di pinggir jalan baru semuanya sudah dijual. Sudah disulap jadi restoran, perumahan, pabrik dan pertokoan. Tinggal punya bapak saya saja yang belum dijual. Rencananya, di atas sawah punya bapak itu nanti akan dibangun sebuah Mall besar. Berhubung sawah punya bapak saya lokasinya strategis, berapa pun harga perbatanya katanya akan dia beli.
Setelah menerima telepon dari si direktur, penyakit maag saya mendadak kambuh. Yang punya penyakit maag, terutama yang melek internet, pasti sudah tahu bahwa salah satu faktor atau penyebab penyakit maag itu biasanya dari fikiran. Bagaimana tidak banyak fikiran, sebelum menerima telepon dari direktur itu, saya lagi pusing-pusingnya mikirin anak-anak. Anak saya yang pertama minta dibelikan sepeda motor. Anak saya yang ke dua, si bungsu, katanya ingin dibelikan sepeda lipat. Sekarang, tiba-tiba ada yang menelepon dari kampung ingin membeli sawah peninggalan Bapak.
Saya jadi dilematis. Istri saya sayang sekali sama anak-anak. Selalu memanjakan mereka. Kalau kabar yang mau membeli sawah ini saya ceritakan sama istri saya, sudah bisa dipastikan, dia adalah orang pertama yang akan menyetujuinya. Bahkan kalau perlu dia akan dandan serapi dan secantik mungkin untuk menemani saya pergi ke kantor notaris. Sebagai ayah, saya juga sebenarnya sayang sama anak-anak, tapi karena saya dulunya orang miskin (beda sama istri saya yang anak orang berada) dididik sama bapak yang ulet, gigih, dan sedikit agak keras. Untuk masalah financial saya selalu berfikir matematis.
Saya sebenarnya bukan tidak punya uang. Untuk membeli sepeda motor atau sepeda lipat sebenarnya gampang. Uang saya ada di Bank. Masalahnya, anak saya kalau saya belikan sepeda motor takut ikutan geng motor. Teman-teman sekolahnya kemarin ada yang ditangkap polisi gara-gara melempari kantor sebuah surat kabar. Terus adiknya tahun kemarin sudah saya belikan sepeda mini tapi jarang dipakai, sekarang minta dibelikan lagi sepeda lipat. Menghambur-hamburkan uang saja.
PULANG dari klinik. Setelah mendengar penjelasan dari dokter (kebetulan dokternya sahabat saya) bahwa obat yang dia berikan hanya untuk meringankan saja. Kalau penyakit maag saya ingin sembuh, solusinya sederhana, saya tidak boleh banyak fikiran. Kalau ada masalah selesaikan segera agar tidak berlarut-larut, agar penyakit maag saya tidak menjadi akut. Saat itu juga saya minta izin ke istri saya untuk mudik alias pulang kampung. Alasannya mau ziarah ke makam bapak dan ibu. Alhamdulillah, istri saya mengizinkan. Dengan syarat, nanti pulangnya saya bawa oleh-oleh makanan kesukaannya.
Di sebuah rumah makan. Tepatnya di seberang sawah peninggalan bapak. Saya bertemu dengan seseorang. Saya ditraktir makan sepuasnya. Gurame bakar, sop buntut, bebek goreng, sambal dan lalap-lalapan khas makanan sunda. Plus minuman seperti teh hangat, teh manis, dan beberapa gelas jus buah semuanya tersedia di atas meja. Di sela-sela makan itu, orang yang waktu itu menelepon dan mengaku sebagai direktur sebuah perusahaan (saya curiga sebenarnya dia bukan direktur tapi makelar kelas kakap) membujuk saya untuk menjual sawah peninggalan bapak.
Mendengar katanya-katanya yang provokatif, menyimak penjelasan-penjelasannya yang sangat bombastis. Seandainya saya seorang downline yang tergiur oleh bonus dan komisi yang fantastis dari Upline sebuah perusahaan MLM saat itu juga mungkin saya akan take action dengan mengatakan ya atau yes! Atau jika saya adalah saksi dari seorang perempuan yang menikah karena hamil duluan dan sudah tidak kuat duduk karena kebelet ingin kencing, saat pengantin laki-laki lancar mengucapkan ijab kabul, mungkin saya akan berteriak sekeras-kerasnya mengatakan: saaah!
Tapi, karena saya teringat dengan wasiat almarhum bapak, bahwa sawah satu-satunya milik keluarga jangan dijual, berapa pun harganya. Dan saya termasuk pengemar berat sinetron Preman Pensiun. Pada orang yang telah mentraktir saya makan di rumah makan tersebut. Tiba-tiba saya jadi ikut-ikutan kayak suami Ceu Edoh (saat ditawari pekerjaan jualan kicimpring oleh Kang Mus) dengan seenaknya saja mengatakan; “Boleh saya fikir-fikir dulu”
“Bapak ngajak kamu ke sawah itu bukan bermaksud mau nyuruh kamu jadi petani, ikut mencangkul seperti bapak. Karena bapak yakin, suatu saat, ketika kamu sudah besar, zaman bapak dengan zaman kamu akan berbeda. Bapak ngajak kamu ke sawah itu hanya ingin mengingatkan bahwa kelak ketika kamu sudah besar, sudah hidup layak, sudah menikah dan punya anak, mungkin sudah tidak tinggal lagi di sini, kamu harus ingat sama purwadaksi”
“Kamu lahir di sini. Di besarkan sama ibu dan bapak. Setiap hari bergumul dengan lumpur. Setelah lulus SMA nanti, kalau panen kita berhasil dan bapak punya uang, bapak sama ibu akan kuliahkan kamu ke luar kota. Biar kamu nggak kayak ibu sama bapak. Tapi, sekali lagi, kalau nanti kamu sudah sukses, sudah jadi orang, lagian umur kan siapa yang tahu, seandainya ibu dan bapak sudah nggak ada, tolong jangan jual sawah ini. Karena ini warisan turun temurun. Dulu kakek kamu mewasiatkan sawah ini pada bapak. Karena kamu anak satu-satunya, sekarang bapak wasiatkan sawah ini sama kamu. Jadi, apa pun yang terjadi, pokoknya sawah ini jangan dijual. Titik.” Saya masih ingat pesan bapak saat itu.
RAMALAN bapak benar-benar terbukti. Zaman telah berubah. Kini tak ada lagi pemuda atau gadis yang mau menjadi petani. Kalau pun ada, bisa dipastikan itu karena terpaksa. Doa ibu dan bapak saya juga dikabulkan Tuhan. Saya akhirnya jadi orang. Dapat gelar sarjana. Kerja di sebuah BUMN. Punya dua orang anak, dan dapat istri anak orang berada. Tapi, apa pun yang terjadi, sawah peninggalan bapak tetap jangan dijual. Dan, oleh sebab itu, saya jadi dilematis.
Saya tidak akan menceritakan berapa luasnya sawah punya bapak saya di kampung. Yang akan saya ceritakan adalah situasi dan kondisi terakhir kampung saya. Dulu, sekitar tahun 90-an, sebelum saya berangkat kuliah ke luar kota, saya tahu di kampung saya akan ada pembebasan lahan buat proyek jalan baru. Bapak saya waktu itu ketiban rezeki. Sawahnya tidak kesabet alias tidak kepatok oleh proyek jalan baru tersebut. Setelah proyek jalan baru itu jadi, sawah punya bapak saya lokasinya benar-benar tepat di pinggir jalan.
Seperti yang sudah diceritakan oleh si direktur atau makelar kelas kakap itu, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Semua sawah yang ada di pinggir jalan baru di kampung saya saat ini sudah berganti rupa menjadi restoran, pabrik, perumahan dan pertokoan. Satunya-satunya tempat yang belum berubah, masih berupa hamparan padi dengan gubuk bambu yang sudah compang-camping di bagian atapnya, adalah sawah punya bapak saya. Sekedar informasi, menurut keterangan si direktur, harga jual di seputaran jalan baru di kampung saya sekarang sudah menembus 50 juta/bata.
Kenapa saya bercerita tentang sawah? Karena saya lagi ada masalah. Beberapa hari yang lalu ada orang yang menelepon dari kampung, ngakunya sih direktur sebuah perusahaan. Dia mengatakan bahwa di kampung saya, hampir semua sawah yang ada di pinggir jalan baru semuanya sudah dijual. Sudah disulap jadi restoran, perumahan, pabrik dan pertokoan. Tinggal punya bapak saya saja yang belum dijual. Rencananya, di atas sawah punya bapak itu nanti akan dibangun sebuah Mall besar. Berhubung sawah punya bapak saya lokasinya strategis, berapa pun harga perbatanya katanya akan dia beli.
Setelah menerima telepon dari si direktur, penyakit maag saya mendadak kambuh. Yang punya penyakit maag, terutama yang melek internet, pasti sudah tahu bahwa salah satu faktor atau penyebab penyakit maag itu biasanya dari fikiran. Bagaimana tidak banyak fikiran, sebelum menerima telepon dari direktur itu, saya lagi pusing-pusingnya mikirin anak-anak. Anak saya yang pertama minta dibelikan sepeda motor. Anak saya yang ke dua, si bungsu, katanya ingin dibelikan sepeda lipat. Sekarang, tiba-tiba ada yang menelepon dari kampung ingin membeli sawah peninggalan Bapak.
Saya jadi dilematis. Istri saya sayang sekali sama anak-anak. Selalu memanjakan mereka. Kalau kabar yang mau membeli sawah ini saya ceritakan sama istri saya, sudah bisa dipastikan, dia adalah orang pertama yang akan menyetujuinya. Bahkan kalau perlu dia akan dandan serapi dan secantik mungkin untuk menemani saya pergi ke kantor notaris. Sebagai ayah, saya juga sebenarnya sayang sama anak-anak, tapi karena saya dulunya orang miskin (beda sama istri saya yang anak orang berada) dididik sama bapak yang ulet, gigih, dan sedikit agak keras. Untuk masalah financial saya selalu berfikir matematis.
Saya sebenarnya bukan tidak punya uang. Untuk membeli sepeda motor atau sepeda lipat sebenarnya gampang. Uang saya ada di Bank. Masalahnya, anak saya kalau saya belikan sepeda motor takut ikutan geng motor. Teman-teman sekolahnya kemarin ada yang ditangkap polisi gara-gara melempari kantor sebuah surat kabar. Terus adiknya tahun kemarin sudah saya belikan sepeda mini tapi jarang dipakai, sekarang minta dibelikan lagi sepeda lipat. Menghambur-hamburkan uang saja.
PULANG dari klinik. Setelah mendengar penjelasan dari dokter (kebetulan dokternya sahabat saya) bahwa obat yang dia berikan hanya untuk meringankan saja. Kalau penyakit maag saya ingin sembuh, solusinya sederhana, saya tidak boleh banyak fikiran. Kalau ada masalah selesaikan segera agar tidak berlarut-larut, agar penyakit maag saya tidak menjadi akut. Saat itu juga saya minta izin ke istri saya untuk mudik alias pulang kampung. Alasannya mau ziarah ke makam bapak dan ibu. Alhamdulillah, istri saya mengizinkan. Dengan syarat, nanti pulangnya saya bawa oleh-oleh makanan kesukaannya.
Di sebuah rumah makan. Tepatnya di seberang sawah peninggalan bapak. Saya bertemu dengan seseorang. Saya ditraktir makan sepuasnya. Gurame bakar, sop buntut, bebek goreng, sambal dan lalap-lalapan khas makanan sunda. Plus minuman seperti teh hangat, teh manis, dan beberapa gelas jus buah semuanya tersedia di atas meja. Di sela-sela makan itu, orang yang waktu itu menelepon dan mengaku sebagai direktur sebuah perusahaan (saya curiga sebenarnya dia bukan direktur tapi makelar kelas kakap) membujuk saya untuk menjual sawah peninggalan bapak.
Mendengar katanya-katanya yang provokatif, menyimak penjelasan-penjelasannya yang sangat bombastis. Seandainya saya seorang downline yang tergiur oleh bonus dan komisi yang fantastis dari Upline sebuah perusahaan MLM saat itu juga mungkin saya akan take action dengan mengatakan ya atau yes! Atau jika saya adalah saksi dari seorang perempuan yang menikah karena hamil duluan dan sudah tidak kuat duduk karena kebelet ingin kencing, saat pengantin laki-laki lancar mengucapkan ijab kabul, mungkin saya akan berteriak sekeras-kerasnya mengatakan: saaah!
Tapi, karena saya teringat dengan wasiat almarhum bapak, bahwa sawah satu-satunya milik keluarga jangan dijual, berapa pun harganya. Dan saya termasuk pengemar berat sinetron Preman Pensiun. Pada orang yang telah mentraktir saya makan di rumah makan tersebut. Tiba-tiba saya jadi ikut-ikutan kayak suami Ceu Edoh (saat ditawari pekerjaan jualan kicimpring oleh Kang Mus) dengan seenaknya saja mengatakan; “Boleh saya fikir-fikir dulu”
“Bapak ngajak kamu ke sawah itu bukan bermaksud mau nyuruh kamu jadi petani, ikut mencangkul seperti bapak. Karena bapak yakin, suatu saat, ketika kamu sudah besar, zaman bapak dengan zaman kamu akan berbeda. Bapak ngajak kamu ke sawah itu hanya ingin mengingatkan bahwa kelak ketika kamu sudah besar, sudah hidup layak, sudah menikah dan punya anak, mungkin sudah tidak tinggal lagi di sini, kamu harus ingat sama purwadaksi”
“Kamu lahir di sini. Di besarkan sama ibu dan bapak. Setiap hari bergumul dengan lumpur. Setelah lulus SMA nanti, kalau panen kita berhasil dan bapak punya uang, bapak sama ibu akan kuliahkan kamu ke luar kota. Biar kamu nggak kayak ibu sama bapak. Tapi, sekali lagi, kalau nanti kamu sudah sukses, sudah jadi orang, lagian umur kan siapa yang tahu, seandainya ibu dan bapak sudah nggak ada, tolong jangan jual sawah ini. Karena ini warisan turun temurun. Dulu kakek kamu mewasiatkan sawah ini pada bapak. Karena kamu anak satu-satunya, sekarang bapak wasiatkan sawah ini sama kamu. Jadi, apa pun yang terjadi, pokoknya sawah ini jangan dijual. Titik.” Saya masih ingat pesan bapak saat itu.
RAMALAN bapak benar-benar terbukti. Zaman telah berubah. Kini tak ada lagi pemuda atau gadis yang mau menjadi petani. Kalau pun ada, bisa dipastikan itu karena terpaksa. Doa ibu dan bapak saya juga dikabulkan Tuhan. Saya akhirnya jadi orang. Dapat gelar sarjana. Kerja di sebuah BUMN. Punya dua orang anak, dan dapat istri anak orang berada. Tapi, apa pun yang terjadi, sawah peninggalan bapak tetap jangan dijual. Dan, oleh sebab itu, saya jadi dilematis.
Saya tidak akan menceritakan berapa luasnya sawah punya bapak saya di kampung. Yang akan saya ceritakan adalah situasi dan kondisi terakhir kampung saya. Dulu, sekitar tahun 90-an, sebelum saya berangkat kuliah ke luar kota, saya tahu di kampung saya akan ada pembebasan lahan buat proyek jalan baru. Bapak saya waktu itu ketiban rezeki. Sawahnya tidak kesabet alias tidak kepatok oleh proyek jalan baru tersebut. Setelah proyek jalan baru itu jadi, sawah punya bapak saya lokasinya benar-benar tepat di pinggir jalan.
Seperti yang sudah diceritakan oleh si direktur atau makelar kelas kakap itu, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Semua sawah yang ada di pinggir jalan baru di kampung saya saat ini sudah berganti rupa menjadi restoran, pabrik, perumahan dan pertokoan. Satunya-satunya tempat yang belum berubah, masih berupa hamparan padi dengan gubuk bambu yang sudah compang-camping di bagian atapnya, adalah sawah punya bapak saya. Sekedar informasi, menurut keterangan si direktur, harga jual di seputaran jalan baru di kampung saya sekarang sudah menembus 50 juta/bata.
Jika sawah peninggalan bapak jadi saya jual, saya bisa beli rumah baru atau renovasi rumah lama. Tidak cuma itu, kalau mau, saya juga bisa resign dari kantor dan membuka usaha baru. Saya bisa pindah dari kuadran kiri ke kuadran kanan. Anak saya bisa punya mobil sendiri-sendiri. Kalau si cikal tetap ingin sepeda motor, saya belikan dua-duanya, mobil sama motor sekaligus. Kalau istri saya tidak cantik dan pelayanannya kurang memuaskan, dari hasil penjualan sawah bapak saya, saya bisa nikah siri dengan santri, mahasiswi, pelayan toko, CS dealer mobil, cabe-cabean, perawat atau guru kayak dokter sahabat saya itu. Tapi, wasiat bapak saya benar-benar membuat saya bingung. Membuat saya menjadi tertutup sama istri.
Jika saya tidak bisa menyelesaikan masalah ini, tidak bisa mengambil keputusan dalam minggu-minggu ini, lebih tepatnya lagi tidak mau menjual sawah peninggalan bapak saya. Sesuai target atau ultimatum yang ditentukan oleh si direktur atau makelar kelas kakap tersebut. Konon investor yang mau membangun Mall besarnya akan mengalihkannya ke kota lain.
Dan itu artinya, bukan saja penyakit maag saya yang akan kembali kambuh. Tapi kemungkinan saya juga akan (amit-amit) jadi gila karena stress memikirkan antara uang miliaran rupiah hasil penjualan sawah peninggalan bapak dengan sebuah wasiat yang sudah terikat sumpah secara turun temurun.