Cerpen Remaja Terbaru 2023 - Surat dari Nurra
NURRA masuk sebagai murid baru, pas kita naik kelas 4 SD. Dia pindahan dari sekolah MI.
Alasan kenapa dia pindah dari MI ke SD yang tahu hanya orang tua murid, wali kelas, dan kepala sekolah.
Sebagai murid, apalagi waktu itu kita masih anak-anak, kita nggak peduliin hal itu.
Yang ada kita senang-senang saja. Kelas kita jadi makin ramai.
Selama di sekolah. Kita belajar dengan normal. Tak ada jarak antara murid lama dan murid baru.
Nurra orangnya mudah bergaul. Teman-teman yang lain pun, terutama murid cewek, banyak yang suka.
Mungkin karena Nurra anak orang biasa. Bukan anak orang kaya.
Empat tahun sekelas dengan Nurra. Perasaan saya biasa-biasa saja.
Persepsi saya terhadap Nurra sama seperti persepsi saya terhadap teman-teman yang lain.
Selama di kelas. Saya nggak pernah komunikasi dengan Nurra.
Kalau ke teman yang lain, misal ke Selvi, Kania, dan Anita, saya sering pinjam pensil atau penghapus.
Ke Nurra saya nggak.
Sampai kita lulus dari SD pun. Seingat saya, kita nggak pernah ngobrol, nggak pernah satu kelompok.
Setelah lulus dari SMA. Saya baru mulai dekat dengan Nurra.
Awalnya saya main ke rumah saudara. Nurra, kebetulan rumahnya tetanggaan dengan saudara saya, sedang main juga di sana.
Di situ kita ngobrol. Nanya kabar. Nanya saya kerja di mana. Sampai ngomongin masa lalu. Kenangan kita waktu di SD.
Sejak ketemu di rumah saudara itu. Nurra mulai intens memperhatikan saya.
Kalau saya nggak main ke rumah saudara. Nurra suka nanyain.
Yang paling saya ingat. Nurra nyuruh saya main ke rumah saudara sambil pakai baju koko dan celana jeans.
Sambil kuliah. Nurra ngajar di salah satu pesantren ternama.
Saya tahu itu karena melihat dengan mata kepala sendiri.
Saya pernah diajak ke pesantren dikenalin sama murid-muridnya.
Lucunya, waktu ada murid yang tanya saya ini siapa. Saya disuruh jawab tukang ojek.
Buat saya sih nggak masalah. Hanya sebuah pertanyaan ringan dari salah seorang murid.
Anggap saja sebagai pengorbanan.
Setelah keliling pesantren, waktu itu Nurra izin nggak bisa ngajar, kita pergi jalan-jalan ke suatu tempat.
Saat jalan-jalan itu. Layaknya seorang guru. Nurra bercerita tentang format masa depan.
Tentang tugas seorang istri. Tentang hak dan kewajiban seorang suami.
Saat jalan-jalan itu. Saya tahu ke mana arah pembicaraan Nurra.
Sebagai wanita dewasa. Berhijab. Yang tahu aturan agama. Dan ngajar di salah satu pesantren ternama.
Nurra tidak butuh pengakuan bahwa kita sedang menjalin hubungan. Dengan dia terbuka pada saya. Mau diajak saya jalan-jalan.
Bahkan tanpa diminta pun Nurra sudah menerangkan secara detil bab-bab terkait rumah tangga.
Itu tandanya, Nurra sudah menjatuhkan pilihan hatinya ke saya.
Nurra wajahnya cantik. Kulitnya putih. Hidungnya mancung. Dagunya belah dua.
Nurra mirip seorang artis yang sedang terkenal saat itu. Setiap kali saya nonton sinetron artis tersebut. Saya selalu terbayang-bayang wajah Nurra.
Bodohnya saya. Wanita secantik itu. Salihah. Pakai hijab. Malah saya sia-siain.
Waktu Nurra ngajak saya ke jenjang yang lebih serius. Saya malah menolaknya dengan bahasa hiperbola.
Nurra pun terluka. Saking terlukanya dia sampai lari keluar provinsi.
Sekian tahun berlalu. Nurra kembali lagi ke sini. Nurra sekarang sudah bersuami. Anaknya banyak.
Nurra kini sudah bahagia.
Bersama suaminya, Nurra dipercaya oleh salah satu Yayasan untuk mengelola sekolah TK dan RA.
Nasibnya sungguh jauh berbeda dengan saya.
Jika tiap hari, Nurra dan suami sibuk ngajar. Ngurus anak-anak. Ngasih ilmu yang sangat bermanfaat.
Di usia kepala empat. Saya masih asyik dalam kesendirian.
Setiap hari, saya sering menghabiskan waktu di kamar. Baca buku, nonton tivi, dengerin musik
Kalau lagi gabut, kadang suka beres-beres isi lemari.
Waktu saya lagi meresin baju. Saya nemu surat dari Nurra lengkap dengan amplopnya.
Inti dari isi suratnya, Nurra kaget dan tak menyangka.
Orang yang dia cinta. Orang yang dia harapkan menjadi ayah bagi anak-anaknya kelak.
Ternyata: laki-laki abnormal.
Alasan kenapa dia pindah dari MI ke SD yang tahu hanya orang tua murid, wali kelas, dan kepala sekolah.
Sebagai murid, apalagi waktu itu kita masih anak-anak, kita nggak peduliin hal itu.
Yang ada kita senang-senang saja. Kelas kita jadi makin ramai.
Selama di sekolah. Kita belajar dengan normal. Tak ada jarak antara murid lama dan murid baru.
Nurra orangnya mudah bergaul. Teman-teman yang lain pun, terutama murid cewek, banyak yang suka.
Mungkin karena Nurra anak orang biasa. Bukan anak orang kaya.
***
Empat tahun sekelas dengan Nurra. Perasaan saya biasa-biasa saja.
Persepsi saya terhadap Nurra sama seperti persepsi saya terhadap teman-teman yang lain.
Selama di kelas. Saya nggak pernah komunikasi dengan Nurra.
Kalau ke teman yang lain, misal ke Selvi, Kania, dan Anita, saya sering pinjam pensil atau penghapus.
Ke Nurra saya nggak.
Sampai kita lulus dari SD pun. Seingat saya, kita nggak pernah ngobrol, nggak pernah satu kelompok.
***
Setelah lulus dari SMA. Saya baru mulai dekat dengan Nurra.
Awalnya saya main ke rumah saudara. Nurra, kebetulan rumahnya tetanggaan dengan saudara saya, sedang main juga di sana.
Di situ kita ngobrol. Nanya kabar. Nanya saya kerja di mana. Sampai ngomongin masa lalu. Kenangan kita waktu di SD.
Sejak ketemu di rumah saudara itu. Nurra mulai intens memperhatikan saya.
Kalau saya nggak main ke rumah saudara. Nurra suka nanyain.
Yang paling saya ingat. Nurra nyuruh saya main ke rumah saudara sambil pakai baju koko dan celana jeans.
***
Sambil kuliah. Nurra ngajar di salah satu pesantren ternama.
Saya tahu itu karena melihat dengan mata kepala sendiri.
Saya pernah diajak ke pesantren dikenalin sama murid-muridnya.
Lucunya, waktu ada murid yang tanya saya ini siapa. Saya disuruh jawab tukang ojek.
Buat saya sih nggak masalah. Hanya sebuah pertanyaan ringan dari salah seorang murid.
Anggap saja sebagai pengorbanan.
Setelah keliling pesantren, waktu itu Nurra izin nggak bisa ngajar, kita pergi jalan-jalan ke suatu tempat.
Saat jalan-jalan itu. Layaknya seorang guru. Nurra bercerita tentang format masa depan.
Tentang tugas seorang istri. Tentang hak dan kewajiban seorang suami.
Saat jalan-jalan itu. Saya tahu ke mana arah pembicaraan Nurra.
Sebagai wanita dewasa. Berhijab. Yang tahu aturan agama. Dan ngajar di salah satu pesantren ternama.
Nurra tidak butuh pengakuan bahwa kita sedang menjalin hubungan. Dengan dia terbuka pada saya. Mau diajak saya jalan-jalan.
Bahkan tanpa diminta pun Nurra sudah menerangkan secara detil bab-bab terkait rumah tangga.
Itu tandanya, Nurra sudah menjatuhkan pilihan hatinya ke saya.
***
Nurra wajahnya cantik. Kulitnya putih. Hidungnya mancung. Dagunya belah dua.
Nurra mirip seorang artis yang sedang terkenal saat itu. Setiap kali saya nonton sinetron artis tersebut. Saya selalu terbayang-bayang wajah Nurra.
Bodohnya saya. Wanita secantik itu. Salihah. Pakai hijab. Malah saya sia-siain.
Waktu Nurra ngajak saya ke jenjang yang lebih serius. Saya malah menolaknya dengan bahasa hiperbola.
Nurra pun terluka. Saking terlukanya dia sampai lari keluar provinsi.
***
Sekian tahun berlalu. Nurra kembali lagi ke sini. Nurra sekarang sudah bersuami. Anaknya banyak.
Nurra kini sudah bahagia.
Bersama suaminya, Nurra dipercaya oleh salah satu Yayasan untuk mengelola sekolah TK dan RA.
Nasibnya sungguh jauh berbeda dengan saya.
Jika tiap hari, Nurra dan suami sibuk ngajar. Ngurus anak-anak. Ngasih ilmu yang sangat bermanfaat.
Di usia kepala empat. Saya masih asyik dalam kesendirian.
Setiap hari, saya sering menghabiskan waktu di kamar. Baca buku, nonton tivi, dengerin musik
Kalau lagi gabut, kadang suka beres-beres isi lemari.
Waktu saya lagi meresin baju. Saya nemu surat dari Nurra lengkap dengan amplopnya.
Inti dari isi suratnya, Nurra kaget dan tak menyangka.
Orang yang dia cinta. Orang yang dia harapkan menjadi ayah bagi anak-anaknya kelak.
Ternyata: laki-laki abnormal.