Cerita Pendek: Jendral Kresek
BELUM sempat meneguk kopi yang diseduhnya sendiri. Hp Nokia jadulnya sudah keburu berbunyi. Yang menelepon, Ibu Indira, kenalannya dari Ibukota.
Begitu telepon diangkat. Tanpa basa-basi, Bu Indira, langsung to the point:
“Pak Oding, di sana ada hotel yang mau dijual?”
“Ada, Bu. Buat siapa?” Setengah kaget, ia kemudian balik bertanya.
“Saya punya kenalan Jendral. Katanya mau beli hotel. Pengennya di Kota Pak Oding. Mau melebarkan bisnis”
“Serius nggak nih? Kalau serius, ada Hotel Yellow. Pengen 80 M”
“Seriuuus! Pak Oding bisa datang ke sini. Nanti saya kenalin dengan Pak Jendral. Atau langsung pertemukan saja dengan pemilik Hotel biar cepet. Biar tidak bertele-tele”
“Kalau beneran serius. Ketemuan saja dengan pemilik Hotel. Nanti saya bilangin ke pemilik Hotel. Sekalian atur jadwal pertemuannya”
“Oke, baik. Saya tunggu konfirmasinya”
***
Sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Pak Jendral yang disebut-sebut Bu Indira mau beli Hotel itu datang tepat waktu.
Kedatangan Pak Jendral langsung disambut oleh pemilik Hotel Yellow bersama staf dan ketiga anaknya di lobi Hotel.
Dengan berpakaian militer lengkap beserta pangkat yang berderet di kiri kanan bahu. Pak Jendral dengan tegas dan lugas mengutarakan niatnya: ingin membeli Hotel Yellow.
Hari itu, pada saat pertemuan itu, sebenarnya bukan untuk melakukan transaksi. Pertemuan itu hanya sebatas perkenalan dulu.
Tawar menawar harga memang sebelumnya sudah dilakukan melalui sambungan telepon.
Tapi uang yang akan dikeluarkan bukan seratus juta atau dua ratus juta. Melainkan puluhan milyar.
Lagian, menurut keterangan Bu Indira, Pak Jendral ingin melihat dulu, cek and ricek, fasilitas apa saja yang ada di Hotel Yellow tersebut.
Jadi, sebagai tanda keseriusan. Kedua belah pihak, penjual dan pembeli harus bertemu dulu. Harus melihat situasi dan kondisi Hotel terlebih dahulu.
Saat melakukan pertemuan itu. Sebenarnya ia sudah mulai curiga. Seorang jendral datang ke hotel sendirian tanpa pengawalan.
Fikirnya, kalau dia seorang Jendral, yang notabene masih menjabat (bukan pensiunan), datang ke hotel mengenakan seragam militer. Minimal ada pengawalan 1 sampai 2 mobil. Tapi ini nihil.
Kecurigaan ia pada orang yang petantang petenteng, bergagah bergegeh, mau membeli Hotel semakin bertambah, saat ditanya oleh pemilik Hotel:
“Kalau boleh tahu bapak tugas di mana ya?”
Dengan tegas dan lantang ala komandan militer. Pak Jendral kemudian menjawab:
“Saya bekerja di seluruh dunia. Menjaga harta kekayaan Presiden Sukarno yang disimpan di bank Swiss, dan Perancis”
Berhubung sudah kenal. Tanpa ba bi bu pemilik Hotel kemudian menyuruh ia menemani Pak Jendral menginap di Hotel selama dua hari dua malam gratis tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.
***
Malam pertama menginap di Hotel Yellow. Tepatnya di area parkir saat sedang mencari angin. Pak Jendral menyuruh ia untuk membeli sebungkus rokok. Pak Jendral minta kalau nggak Dji Sam Soe, Djarum Super atau Marlboro.
“Aduh, pak. Saya kan nggak punya uang. Saya adanya Jarcok. Gimana kalau Jarcok saja?” Ia pura-pura mengeluh. Rokok Jarcok yang tinggal 6 batang lagi ia keluarkan dari saku jaketnya.
“Yaa elaah, Pak Oding. Nanti kan Pak Oding mau dapat komisi milyaran dari saya. Masa beliin saya sebungkus rokok saja nggak mau”
“Bukan nggak mau beliin Pak. Tapi saya bener-bener nggak punya uang. Datang ke Hotel juga tadi saya dijemput oleh anak yang punya Hotel”
“Terus gimana, saya mau merokok nih...”
“Sebentar pak. Saya coba minta karyawan Hotel suruh beliin rokok...”
“Ya, sudah terserah....”
***
Malam kedua di Hotel Yellow. Waktu Pak Jendral sedang ngeden di kamar mandi. Ia coba mendekati kresek hitam yang sangat mencurigakan yang tergeletak di sudut kamar, disamping lemari.
Ia penasaran jangan-jangan kresek hitam itu isinya berupa jimat atau benda-benda yang berbau klenik.
Kresek hitam itu pelan-pelan ia buka. Isinya ternyata cuma 1 potong celana dalam, 1 potong celana panjang, dan 1 potong kemeja.
Setelah mengobrak-abrik barang yang ada di dalam kantong kresek hitam. Dalam hati kemudian ia bertanya:
“Ini Jendral beneran atau jendral abal-abal. Masa, mau beli Hotel puluhan milyar. Bawa salinnya cuma satu setel. Itu pun dimasukin ke dalam kantong kresek hitam!”
***
Esok harinya. Saat waktu menginap di Hotel sudah habis. Ia menerima telepon lagi dari Bu Indira.
“Pak Oding. Pak Jendral katanya mau pulang ke Ibukota. Mau urus-urus pencairan. Tolong kasih ongkos 200.000. Biar cepet deal. Biar kita cepet dapat komisi”
“Bu, maaf. Setahu saya, kalau Jendral itu datang di kawal, pulang juga dikawal. Bukan pergi ke terminal. Terus katanya mau beli Hotel puluhan milyar. Masa mau pulang ke Ibukota harus saya yang ngongkosin!”
“Pak Oding belum tahu Pak Jendral siapa ya. Pak Jendral itu orang besar. Tapi orangnya tidak mau dikenal. Sudah kasih ongkos saja. Nanti kalau transaksinya sudah deal, saya kasih tahu ke Pak Oding, siapa Pak Jendral sebenarnya!”
“Gini saja, Bu. Saya kan sering bolak-balik ke Ibukota. Tiket bus ke Ibukota dari sini Rp 80.000. Nanti saya kasih Rp 100.000. Sisanya masih ada Rp 20.000. Cukup buat beli roko, makan dan minum. Kalau sudah sampai di ibukota, nanti ibu yang urus”
Dengan langkah gontai, ia menemani Pak Jendral check out dari Hotel. Kemudian naik angkot. Pergi menuju terminal bus.
***
Sehari setelah mengantar Pak Jendral ke terminal. Tiba-tiba ada nomer telepon yang tak dikenal berkali-kali menghubunginya. Karena penasaran, ia coba angkat telepon tersebut:
“Pak Oding. Saya masih di terminal. Ongkos yang kemarin Pak Oding kasih masih kurang. Hanya cukup buat makan. Saya minta Rp 100.000 lagi. Hari ini saya mau berangkat”
Karena sudah merasa ditipu. Dan malu sama pemilik Hotel yang sudah ia kenal sejak lama. Dengan nada marah, ia bentak saja orang yang ngaku-ngaku Jendral tersebut: “Minta saja sama Bu Indira. Jangan minta lagi sama saya. Saya doakan bapak selamat di perjalanan”
Begitu telepon diangkat. Tanpa basa-basi, Bu Indira, langsung to the point:
“Pak Oding, di sana ada hotel yang mau dijual?”
“Ada, Bu. Buat siapa?” Setengah kaget, ia kemudian balik bertanya.
“Saya punya kenalan Jendral. Katanya mau beli hotel. Pengennya di Kota Pak Oding. Mau melebarkan bisnis”
“Serius nggak nih? Kalau serius, ada Hotel Yellow. Pengen 80 M”
“Seriuuus! Pak Oding bisa datang ke sini. Nanti saya kenalin dengan Pak Jendral. Atau langsung pertemukan saja dengan pemilik Hotel biar cepet. Biar tidak bertele-tele”
“Kalau beneran serius. Ketemuan saja dengan pemilik Hotel. Nanti saya bilangin ke pemilik Hotel. Sekalian atur jadwal pertemuannya”
“Oke, baik. Saya tunggu konfirmasinya”
***
Sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Pak Jendral yang disebut-sebut Bu Indira mau beli Hotel itu datang tepat waktu.
Kedatangan Pak Jendral langsung disambut oleh pemilik Hotel Yellow bersama staf dan ketiga anaknya di lobi Hotel.
Dengan berpakaian militer lengkap beserta pangkat yang berderet di kiri kanan bahu. Pak Jendral dengan tegas dan lugas mengutarakan niatnya: ingin membeli Hotel Yellow.
Hari itu, pada saat pertemuan itu, sebenarnya bukan untuk melakukan transaksi. Pertemuan itu hanya sebatas perkenalan dulu.
Tawar menawar harga memang sebelumnya sudah dilakukan melalui sambungan telepon.
Tapi uang yang akan dikeluarkan bukan seratus juta atau dua ratus juta. Melainkan puluhan milyar.
Lagian, menurut keterangan Bu Indira, Pak Jendral ingin melihat dulu, cek and ricek, fasilitas apa saja yang ada di Hotel Yellow tersebut.
Jadi, sebagai tanda keseriusan. Kedua belah pihak, penjual dan pembeli harus bertemu dulu. Harus melihat situasi dan kondisi Hotel terlebih dahulu.
Saat melakukan pertemuan itu. Sebenarnya ia sudah mulai curiga. Seorang jendral datang ke hotel sendirian tanpa pengawalan.
Fikirnya, kalau dia seorang Jendral, yang notabene masih menjabat (bukan pensiunan), datang ke hotel mengenakan seragam militer. Minimal ada pengawalan 1 sampai 2 mobil. Tapi ini nihil.
Kecurigaan ia pada orang yang petantang petenteng, bergagah bergegeh, mau membeli Hotel semakin bertambah, saat ditanya oleh pemilik Hotel:
“Kalau boleh tahu bapak tugas di mana ya?”
Dengan tegas dan lantang ala komandan militer. Pak Jendral kemudian menjawab:
“Saya bekerja di seluruh dunia. Menjaga harta kekayaan Presiden Sukarno yang disimpan di bank Swiss, dan Perancis”
Berhubung sudah kenal. Tanpa ba bi bu pemilik Hotel kemudian menyuruh ia menemani Pak Jendral menginap di Hotel selama dua hari dua malam gratis tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.
***
Malam pertama menginap di Hotel Yellow. Tepatnya di area parkir saat sedang mencari angin. Pak Jendral menyuruh ia untuk membeli sebungkus rokok. Pak Jendral minta kalau nggak Dji Sam Soe, Djarum Super atau Marlboro.
“Aduh, pak. Saya kan nggak punya uang. Saya adanya Jarcok. Gimana kalau Jarcok saja?” Ia pura-pura mengeluh. Rokok Jarcok yang tinggal 6 batang lagi ia keluarkan dari saku jaketnya.
“Yaa elaah, Pak Oding. Nanti kan Pak Oding mau dapat komisi milyaran dari saya. Masa beliin saya sebungkus rokok saja nggak mau”
“Bukan nggak mau beliin Pak. Tapi saya bener-bener nggak punya uang. Datang ke Hotel juga tadi saya dijemput oleh anak yang punya Hotel”
“Terus gimana, saya mau merokok nih...”
“Sebentar pak. Saya coba minta karyawan Hotel suruh beliin rokok...”
“Ya, sudah terserah....”
***
Malam kedua di Hotel Yellow. Waktu Pak Jendral sedang ngeden di kamar mandi. Ia coba mendekati kresek hitam yang sangat mencurigakan yang tergeletak di sudut kamar, disamping lemari.
Ia penasaran jangan-jangan kresek hitam itu isinya berupa jimat atau benda-benda yang berbau klenik.
Kresek hitam itu pelan-pelan ia buka. Isinya ternyata cuma 1 potong celana dalam, 1 potong celana panjang, dan 1 potong kemeja.
Setelah mengobrak-abrik barang yang ada di dalam kantong kresek hitam. Dalam hati kemudian ia bertanya:
“Ini Jendral beneran atau jendral abal-abal. Masa, mau beli Hotel puluhan milyar. Bawa salinnya cuma satu setel. Itu pun dimasukin ke dalam kantong kresek hitam!”
***
Esok harinya. Saat waktu menginap di Hotel sudah habis. Ia menerima telepon lagi dari Bu Indira.
“Pak Oding. Pak Jendral katanya mau pulang ke Ibukota. Mau urus-urus pencairan. Tolong kasih ongkos 200.000. Biar cepet deal. Biar kita cepet dapat komisi”
“Bu, maaf. Setahu saya, kalau Jendral itu datang di kawal, pulang juga dikawal. Bukan pergi ke terminal. Terus katanya mau beli Hotel puluhan milyar. Masa mau pulang ke Ibukota harus saya yang ngongkosin!”
“Pak Oding belum tahu Pak Jendral siapa ya. Pak Jendral itu orang besar. Tapi orangnya tidak mau dikenal. Sudah kasih ongkos saja. Nanti kalau transaksinya sudah deal, saya kasih tahu ke Pak Oding, siapa Pak Jendral sebenarnya!”
“Gini saja, Bu. Saya kan sering bolak-balik ke Ibukota. Tiket bus ke Ibukota dari sini Rp 80.000. Nanti saya kasih Rp 100.000. Sisanya masih ada Rp 20.000. Cukup buat beli roko, makan dan minum. Kalau sudah sampai di ibukota, nanti ibu yang urus”
Dengan langkah gontai, ia menemani Pak Jendral check out dari Hotel. Kemudian naik angkot. Pergi menuju terminal bus.
***
Sehari setelah mengantar Pak Jendral ke terminal. Tiba-tiba ada nomer telepon yang tak dikenal berkali-kali menghubunginya. Karena penasaran, ia coba angkat telepon tersebut:
“Pak Oding. Saya masih di terminal. Ongkos yang kemarin Pak Oding kasih masih kurang. Hanya cukup buat makan. Saya minta Rp 100.000 lagi. Hari ini saya mau berangkat”
Karena sudah merasa ditipu. Dan malu sama pemilik Hotel yang sudah ia kenal sejak lama. Dengan nada marah, ia bentak saja orang yang ngaku-ngaku Jendral tersebut: “Minta saja sama Bu Indira. Jangan minta lagi sama saya. Saya doakan bapak selamat di perjalanan”