Belajar Agama Dan Toleransi Dari Orang Medan
SEMALAM habis sholat maghrib, Kami kedatangan Paman Oyong. Dia aslinya orang Medan, tapi masih terikat kerabat dengan Kami karena istrinya masih satu turunan dengan nenek. Dia datang sendiri, sengaja ingin bersilaturahmi dengan keluarga Kami. Paman Oyong orangnya tinggi besar. Hidungnya mancung kayak orang India. Meski sudah lama menikah dengan orang Sunda, sudah punya cucu, tapi bicaranya masih tetap pakai bahasa Indonesia.
Namanya dengan saudara, apalagi sudah lama nggak ketemu, tadi malam kita ngobrol ke sana kemari. Segala dibahas. Mulai dari anak, sekolah, sampai ngobrolin masalah pekerjaan. Nah, tujuan dia bersilaturahmi ke rumah Kami katanya mau ngasih tahu kalau dia mau bekerja di rumah salah satu saudara Kami. O iya saya belum ngasih tahu, Paman Oyong sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan. Sebelum Lebaran kemarin dia bekerja di Jakarta.
Setelah Lebaran sebenarnya dia mau berangkat lagi ke Jakarta bekerja sebagai tukang bangunan. Tapi karena saudara Kami mau merenovasi rumah dan membutuhkan pegawai, akhirnya dia mengurungkan niat bekerja di Jakarta dan memilih bekerja di rumah saudara Kami. Kalau di sini ada pekerjaan, ngapain pergi jauh-jauh, katanya.
Satu jam ngobrol dengan Paman Oyong. Saya jadi tahu kepribadian Paman Oyong. Meski bekerja sebagai tukang bangunan, Paman Oyong ternyata seorang muslim yang taat sekaligus ayah yang bertanggung jawab. Orang tua Paman Oyong aslinya dari Padang. Tapi setelah orang tuanya menikah mereka menetap di Medan. Karena lahir di Medan, kecil dan besar di Medan, Paman Oyong tidak tahu kampung halaman orang tuanya di Padang.
Beranjak dewasa, Paman Oyong merantau ke Jakarta. Lalu ketemu jodoh. Menikah dengan salah satu saudara Kami. Meski tampangnya sangar. Kalau ngobrolnya nada suaranya suka tinggi. Paman Oyong ternyata seorang muslim yang taat. Kalau bertamu ke rumah orang, sekalipun masih saudara, kalau di rumah saudaranya nggak ada siapa-siapa, atau di rumah hanya ada istri yang punya rumah, suaminya nggak ada lagi keluar. Paman Oyong katanya nggak berani masuk.
Terus kalau sedang bekerja, meski sudah disediain air minum, kopi, rokok atau makanan, tapi kalau nggak ditawarin sama majikannya dia nggak berani ngambil. Dia baru mau minum atau makan kalau sudah dipersilahkan sama majikannya. Sebagai orang tua, Paman Oyong juga adalah sosok ayah yang bertanggung jawab. Meski bekerja sebagai tukang bangunan, dia mampu membiayai kuliah salah satu anaknya sampai lulus S2.
Ada satu cerita yang sayang banget kalau tidak saya bagikan di blog ini. Kata Paman Oyong, orang Medan itu keras. Tapi toleransi dan solidaritasnya tinggi. Contoh, malam ini kita berkelahi, adu jotos, tapi besoknya langsung akur lagi. Kita boleh bertengkar sama saudara, saling membenci, saling memaki, tapi kalau saudaranya butuh duit, pasti dikasih. Beda dengan kita, kalau sudah bertengkar, boro-boro mau ngasih duit, yang ada kita malah diusir. Dimaki habis-habisan. Betul? Nah, itulah katanya kelebihan dari orang Medan.
Namanya dengan saudara, apalagi sudah lama nggak ketemu, tadi malam kita ngobrol ke sana kemari. Segala dibahas. Mulai dari anak, sekolah, sampai ngobrolin masalah pekerjaan. Nah, tujuan dia bersilaturahmi ke rumah Kami katanya mau ngasih tahu kalau dia mau bekerja di rumah salah satu saudara Kami. O iya saya belum ngasih tahu, Paman Oyong sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan. Sebelum Lebaran kemarin dia bekerja di Jakarta.
Setelah Lebaran sebenarnya dia mau berangkat lagi ke Jakarta bekerja sebagai tukang bangunan. Tapi karena saudara Kami mau merenovasi rumah dan membutuhkan pegawai, akhirnya dia mengurungkan niat bekerja di Jakarta dan memilih bekerja di rumah saudara Kami. Kalau di sini ada pekerjaan, ngapain pergi jauh-jauh, katanya.
Beranjak dewasa, Paman Oyong merantau ke Jakarta. Lalu ketemu jodoh. Menikah dengan salah satu saudara Kami. Meski tampangnya sangar. Kalau ngobrolnya nada suaranya suka tinggi. Paman Oyong ternyata seorang muslim yang taat. Kalau bertamu ke rumah orang, sekalipun masih saudara, kalau di rumah saudaranya nggak ada siapa-siapa, atau di rumah hanya ada istri yang punya rumah, suaminya nggak ada lagi keluar. Paman Oyong katanya nggak berani masuk.
Terus kalau sedang bekerja, meski sudah disediain air minum, kopi, rokok atau makanan, tapi kalau nggak ditawarin sama majikannya dia nggak berani ngambil. Dia baru mau minum atau makan kalau sudah dipersilahkan sama majikannya. Sebagai orang tua, Paman Oyong juga adalah sosok ayah yang bertanggung jawab. Meski bekerja sebagai tukang bangunan, dia mampu membiayai kuliah salah satu anaknya sampai lulus S2.
Ada satu cerita yang sayang banget kalau tidak saya bagikan di blog ini. Kata Paman Oyong, orang Medan itu keras. Tapi toleransi dan solidaritasnya tinggi. Contoh, malam ini kita berkelahi, adu jotos, tapi besoknya langsung akur lagi. Kita boleh bertengkar sama saudara, saling membenci, saling memaki, tapi kalau saudaranya butuh duit, pasti dikasih. Beda dengan kita, kalau sudah bertengkar, boro-boro mau ngasih duit, yang ada kita malah diusir. Dimaki habis-habisan. Betul? Nah, itulah katanya kelebihan dari orang Medan.