Anak-Anak Harus Dikenalkan Pada Masjid Sejak Dini
WAKTU terakhir saya tinggal di kontrakan. Setiap sholat shubuh itu, di masjid suka ada anak-anak yang sedang tidur di lantai dua. Sama takmir atau imam sholat kadang dibangunin kadang tidak. Anak-anak itu biasa ngaji di masjid tersebut. Guru ngajinya yang suka jadi imam sholat. Saya tidak tahu, apa memang dari habis maghrib anak-anak itu tetap di dalam masjid, nginap sampai shubuh. Atau pulang dulu, main dulu, habis isya atau jam 9 malam baru mereka masuk lagi ke masjid. Yang jelas, anak-anak memang harus dikenalkan pada masjid sejak dini.
Begitu saya pindah rumah. Di kampung yang baru. Setiap sholat di masjid itu anak-anaknya banyak banget. Bisa 2 atau 3 kali lipat dari anak-anak yang waktu saya masih tinggal di kontrakan. Setiap sholat anak-anak itu tidak bisa diatur. Pada berisik. Di dalam masjid itu ada yang teriak-teriak. Ada yang nyanyi-nyayi. Ada yang lari-lari. Ada yang ngobrol nggak jelas. Bahkan, ada yang sebelum sholat mereka sudah main di masjid. Begitu waktunya sholat, mereka malah tidak ikut sholat.
Anehnya, jamaah di sana. Baik itu imam sholat atau orang-orang tua dari anak-anak yang lagi main di masjid tersebut seorang pun tidak ada yang berani menghardiknya. Namanya orang baru, saya sempat stress. Bagaimana mau fokus ibadah sholatnya kalau di belakang anak-anak pada berisik. Berseliweran. Bertengkar. Kalau nggak berkelahi, mereka pada ngobrol mengucapkan kata-kata kotor yang tidak sepantasnya diucapkan di dalam masjid.
Saya jadi teringat waktu saya masih kecil di kampung. Saya dan teman-teman tidak ada yang berani bikin onar di masjid. Kalau usil atau iseng-iseng sedikit seperti mendorong atau merosotin sarung teman suka sih. Tapi itu juga sebelum sholat. Kalau imam sudah bilang Allahu Akbar, kita diam ikut sholat bersama orang-orang dewasa. Tidak ada yang berani ngomong, tidak ada yang berani nyanyi-nyanyi. Apalagi lari-lari di dalam masjid.
Kalau ada yang nakal, ngobrol, lari-lari, atau nyany-nyanyi. Sudah bisa dipastikan habis sholat kita bakal dimarahin. Mending kalau cuma dikatain saja. Kalau usil atau isengnya keterlaluan, bisa-bisa pipi kita digampar. Di kampung saya itu ada tokoh-tokoh yang ditakuti. Mereka bukan preman. Mereka orang-orang biasa. Tapi kalau mereka sudah marah seorang pun tidak ada yang berani melawannya. Kalau mereka ngomong atau memberi perintah kita semua, anak-anak dan dewasa, pada nurut pada manut.
Berangkat dari masa lalu sewaktu saya kecil itulah pada momen Agustusan tahun lalu saya mulai mencoba mendekati anak-anak yang suka bermain di masjid. Saya cerita dan bilang ke mereka kalau di masjid itu tidak boleh bertengkar. Tidak boleh main. Tidak boleh berisik. Di sini kan banyak anak-anak. Kita yang sudah gede jangan kasih contoh yang jelek. Nanti bisa ditiru sama adik-adik yang masih kecil. Saya juga sempat bilang ke anak-anak tersebut, kalau di kampung saya, anak-anak yang bikin onar di masjid itu pasti bakal dicepret pakai rotan.
Setelah saya melakukan pendekatan seperti itu. Alhamduillah, walau pun masih ada yang berisik di masjid tapi tidak sampai keterlaluan. Masih sebatas wajar. Anak-anak yang gede udah bisa jaga sikap. Sebelum ada saya mereka suka ngobrol. Tapi begitu saya datang mereka pada buru-buru ambil air wudhu. Yang bikin saya terharu. Anak-anak di sini banyak yang ikut sholat shubuh berjamaah di masjid. Mereka tidak tidur di masjid. Mereka datang sendiri dari rumahnya masing-masing.
Begitu saya pindah rumah. Di kampung yang baru. Setiap sholat di masjid itu anak-anaknya banyak banget. Bisa 2 atau 3 kali lipat dari anak-anak yang waktu saya masih tinggal di kontrakan. Setiap sholat anak-anak itu tidak bisa diatur. Pada berisik. Di dalam masjid itu ada yang teriak-teriak. Ada yang nyanyi-nyayi. Ada yang lari-lari. Ada yang ngobrol nggak jelas. Bahkan, ada yang sebelum sholat mereka sudah main di masjid. Begitu waktunya sholat, mereka malah tidak ikut sholat.
Anehnya, jamaah di sana. Baik itu imam sholat atau orang-orang tua dari anak-anak yang lagi main di masjid tersebut seorang pun tidak ada yang berani menghardiknya. Namanya orang baru, saya sempat stress. Bagaimana mau fokus ibadah sholatnya kalau di belakang anak-anak pada berisik. Berseliweran. Bertengkar. Kalau nggak berkelahi, mereka pada ngobrol mengucapkan kata-kata kotor yang tidak sepantasnya diucapkan di dalam masjid.
Saya jadi teringat waktu saya masih kecil di kampung. Saya dan teman-teman tidak ada yang berani bikin onar di masjid. Kalau usil atau iseng-iseng sedikit seperti mendorong atau merosotin sarung teman suka sih. Tapi itu juga sebelum sholat. Kalau imam sudah bilang Allahu Akbar, kita diam ikut sholat bersama orang-orang dewasa. Tidak ada yang berani ngomong, tidak ada yang berani nyanyi-nyanyi. Apalagi lari-lari di dalam masjid.
Kalau ada yang nakal, ngobrol, lari-lari, atau nyany-nyanyi. Sudah bisa dipastikan habis sholat kita bakal dimarahin. Mending kalau cuma dikatain saja. Kalau usil atau isengnya keterlaluan, bisa-bisa pipi kita digampar. Di kampung saya itu ada tokoh-tokoh yang ditakuti. Mereka bukan preman. Mereka orang-orang biasa. Tapi kalau mereka sudah marah seorang pun tidak ada yang berani melawannya. Kalau mereka ngomong atau memberi perintah kita semua, anak-anak dan dewasa, pada nurut pada manut.
Berangkat dari masa lalu sewaktu saya kecil itulah pada momen Agustusan tahun lalu saya mulai mencoba mendekati anak-anak yang suka bermain di masjid. Saya cerita dan bilang ke mereka kalau di masjid itu tidak boleh bertengkar. Tidak boleh main. Tidak boleh berisik. Di sini kan banyak anak-anak. Kita yang sudah gede jangan kasih contoh yang jelek. Nanti bisa ditiru sama adik-adik yang masih kecil. Saya juga sempat bilang ke anak-anak tersebut, kalau di kampung saya, anak-anak yang bikin onar di masjid itu pasti bakal dicepret pakai rotan.
Setelah saya melakukan pendekatan seperti itu. Alhamduillah, walau pun masih ada yang berisik di masjid tapi tidak sampai keterlaluan. Masih sebatas wajar. Anak-anak yang gede udah bisa jaga sikap. Sebelum ada saya mereka suka ngobrol. Tapi begitu saya datang mereka pada buru-buru ambil air wudhu. Yang bikin saya terharu. Anak-anak di sini banyak yang ikut sholat shubuh berjamaah di masjid. Mereka tidak tidur di masjid. Mereka datang sendiri dari rumahnya masing-masing.