Bisnis Itu Harus Punya Etika
DALAM berbisnis itu kita harus punya etika. Jangan karena pengen cepet laku, pengen banyak yang pesan, pengen untung besar. Kita melakukan segala cara. Menghalalkan yang haram. Mencampur adukan antara yang hak dengan yang bathil. Sebagai orang yang beragama, bisnis yang kita jalankan harus sesuai dengan tuntutan islam. Harus mengikuti kaidah-kaidah yang diajarkan oleh al-quran.
Bisnis yang tidak punya etika itu seperti apa? Contohnya kurang lebih seperti ini…
Karena kita tidak mempunyai produk, kita mencari pabrik atau konveksi di sekitar kita. Setelah ketemu kita lalu menjualkan produk mereka. Kita hanya mengambil untung dari selisih harga yang pabrik atau konveksi kasih ke kita. Seiring berjalannya waktu, karena produk dari pabrik atau konveksi itu laris manis, banyak yang beli, kita jadi kefikiran buat produk sendiri. Kita main curang. Menelikung. Bikin pabrik atau konveksi sendiri. Tapi produknya sama.
Dengan alasan kalau kita yang bikin, kita yang produksi sendiri, otomatis untungnya jauh lebih gede. Ngambil dari pabrik atau konveksi orang saja sudah dapat untung apalagi kalau produknya punya kita, pasti profitnya bisa 50% lebih…
Itu satu ya. Tapi ada juga kebalikannya. Dan ini benar-benar pengalaman saya pribadi.
Saya ketemu sama pabrik yang sudah tutup. Pertama kali saya ke sana, pabriknya sudah nggak berbentuk, sudah jadi kandang ayam. Karena produk yang dia punya lumayan unik, saya kerjasama dengan pemilik pabrik tersebut. Saya yang memasarkan, pemilik pabrik yang produksi.
Alhamdulillah, kita sudah menjalin kerjasama selama 6 tahun. Dari bisnis yang kita kelola. Bukan cuma bisa memperbaiki pabrik, rumah pemilik pabrik juga sekarang sudah direnovasi. Sudah bagus.
Nah, setelah bisnis berjalan lancar, kita sudah punya branding (terutama di internet). Muncullah penyusup. Ada saudaranya pemilik pabrik yang mau ikut jualan. Karena masih saudaranya. Saya biarkan saja. Saya fikir dia jualannya mau lewat offline bukan lewat online. Tapi, setelah saya perhatikan, lama kelamaan saudaranya itu ternyata nggak punya etika.
Dia jualannya lewat internet juga, masuk ke berbagai grup. Parahnya lagi, dia jual dengan harga di bawah kita. Dengan produk asli desain saya. Hasil inovasi saya. Saking parahnya, sampai-sampai ada konsumen yang tanya begini di BBM: “Ini yang punya perusahan siapa sih, kok harganya beda. Lebih murah di sana!” Katanya. Hadeuuh…
Dari dua contoh di atas. Mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran. Yang belum punya pabrik atau pemilik pabrik harus bekerjasama dengan baik. Harus menjadi sebuah tim. Mari besarkan bisnis kita dengan cara fair. Kuatkan branding dan jejaring kita tanpa ada penghianatan. Kita sama-sama memiliki peran. Jangan merasa kita yang paling berjasa, kita yang paling berkuasa. Sehingga kita bisa seenaknya mengambil keputusan dan kebijakan.
Seandainya bisnis yang kita jalani sekarang hanya sebagai batu loncatan, alangkah lebih baik jika kita bicarakan dari awal. Harus ada nota kesepahaman. Biar sama-sama enak. Kalau kita sudah membuat komitmen dari awal, ketika bisnis kita sudah tumbuh, kita mau bikin pabrik sendiri, mau melebarkan sayap, atau menerima reseller dan dropship dari luar, kedua belah pihak sudah sepakat. Apa pun yang terjadi di kemudian hari, tidak ada yang merasa tersakiti. Tidak ada yang merasa terdzolimi.
Bisnis yang tidak punya etika itu seperti apa? Contohnya kurang lebih seperti ini…
Karena kita tidak mempunyai produk, kita mencari pabrik atau konveksi di sekitar kita. Setelah ketemu kita lalu menjualkan produk mereka. Kita hanya mengambil untung dari selisih harga yang pabrik atau konveksi kasih ke kita. Seiring berjalannya waktu, karena produk dari pabrik atau konveksi itu laris manis, banyak yang beli, kita jadi kefikiran buat produk sendiri. Kita main curang. Menelikung. Bikin pabrik atau konveksi sendiri. Tapi produknya sama.
Dengan alasan kalau kita yang bikin, kita yang produksi sendiri, otomatis untungnya jauh lebih gede. Ngambil dari pabrik atau konveksi orang saja sudah dapat untung apalagi kalau produknya punya kita, pasti profitnya bisa 50% lebih…
Itu satu ya. Tapi ada juga kebalikannya. Dan ini benar-benar pengalaman saya pribadi.
Saya ketemu sama pabrik yang sudah tutup. Pertama kali saya ke sana, pabriknya sudah nggak berbentuk, sudah jadi kandang ayam. Karena produk yang dia punya lumayan unik, saya kerjasama dengan pemilik pabrik tersebut. Saya yang memasarkan, pemilik pabrik yang produksi.
Alhamdulillah, kita sudah menjalin kerjasama selama 6 tahun. Dari bisnis yang kita kelola. Bukan cuma bisa memperbaiki pabrik, rumah pemilik pabrik juga sekarang sudah direnovasi. Sudah bagus.
Nah, setelah bisnis berjalan lancar, kita sudah punya branding (terutama di internet). Muncullah penyusup. Ada saudaranya pemilik pabrik yang mau ikut jualan. Karena masih saudaranya. Saya biarkan saja. Saya fikir dia jualannya mau lewat offline bukan lewat online. Tapi, setelah saya perhatikan, lama kelamaan saudaranya itu ternyata nggak punya etika.
Dia jualannya lewat internet juga, masuk ke berbagai grup. Parahnya lagi, dia jual dengan harga di bawah kita. Dengan produk asli desain saya. Hasil inovasi saya. Saking parahnya, sampai-sampai ada konsumen yang tanya begini di BBM: “Ini yang punya perusahan siapa sih, kok harganya beda. Lebih murah di sana!” Katanya. Hadeuuh…
Dari dua contoh di atas. Mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran. Yang belum punya pabrik atau pemilik pabrik harus bekerjasama dengan baik. Harus menjadi sebuah tim. Mari besarkan bisnis kita dengan cara fair. Kuatkan branding dan jejaring kita tanpa ada penghianatan. Kita sama-sama memiliki peran. Jangan merasa kita yang paling berjasa, kita yang paling berkuasa. Sehingga kita bisa seenaknya mengambil keputusan dan kebijakan.
Seandainya bisnis yang kita jalani sekarang hanya sebagai batu loncatan, alangkah lebih baik jika kita bicarakan dari awal. Harus ada nota kesepahaman. Biar sama-sama enak. Kalau kita sudah membuat komitmen dari awal, ketika bisnis kita sudah tumbuh, kita mau bikin pabrik sendiri, mau melebarkan sayap, atau menerima reseller dan dropship dari luar, kedua belah pihak sudah sepakat. Apa pun yang terjadi di kemudian hari, tidak ada yang merasa tersakiti. Tidak ada yang merasa terdzolimi.